Tuesday 31 December 2019

Ada apa denganmu?

Ada apa denganmu?
Entah hanya perasaanku saja, atau memang kamu yang perlahan menyerah.

Sejak hari itu, aku merasa bahwa kamu tak lagi sehangat dulu. Kamu seperti membeku. Sikapmu dingin mengalahkan dinginnya udara musim hujan. Tak ada lagi kamu yang selalu mengabariku ini dan itu. Kini, kamu seperti tak akan menyapaku jika aku tak menanyaimu lebih dulu. Bahkan saat ku mengirim pesan saja, seringkali kamu abaikan. Dan kamu, tidak akan memberi alasan jika aku tak menuntut penjelasan. Dulu tak begitu!

                                           (Gambar oleh google)

Sesibuknya kamu, dulu selalu menyempatkan waktu untuk kita sekadar berbagi kabar. Tapi kini, kamu seakan lupa bahwa aku ini ada. Aku tau, pekerjaanmu begitu menyita waktu. Maka dari itu, aku selalu berusaha memahamimu dalam perspektifku. "Dia lagi sibuk; mungkin kerjaannya banyak; mungkin dia capek; dia butuh istirahat, jangan diganggu!". Kalimat-kalimat itu yang selalu ku jadikan tameng atas pikiran-pikiran negatif yang berusaha menjatuhkanmu di mataku. Sejauh ini, aku selalu berhasil mengalahkan pikiran negatifku tentangmu. Ya, meskipun dengan hati yang gundah sesekali. Hm, atau mungkin sering kali. Kamu tahu sendiri kan, jika ke-gundah gulana-an ku sudah menjadi, maka kamu akan menerima pesan dariku tanpa henti. Dan saat itu lah, kamu seperti baru menyadari bahwa aku masih ada.

Namun, aku tak mau sering-sering meluapkan segala kesahku terhadapmu. Karena aku tak mau kamu merasa tak nyaman denganku. Meskipun dulu, kamu pernah bilang: "Gapapa marah aja, supaya aku tau, dan supaya aku gak terus menerus begitu". Ingin ku juga seperti itu. Tapi, aku tak mau kamu menilaiku sebagai perempuan yang terlalu berlebihan. Karena itu lah, tanpa kamu tau, aku sering kali meluapkah kesahku sendirian. Menumpahkan buliran air yang merasa harus dialirkan. Menangis sering kali mebuatku lebih tenang. Walau begitu, tentu lebih tenang jika aku bisa menumpahkannya langsung padamu.

Kamu seperti bukan lagi kamu yang dulu. Tapi, semoga perasaanku salah. Kamu tidak sedang menyerah perlahan, kan?

Sejak hari itu, kita sama sekali tak bertemu. Setiap ku ajak bersua, kamu selalu menolak dengan alasan  pekerjaan. Aku memaklumi. Namun, entah mengapa, muncul sebersit prasangka bahwa kamu sengaja menghindari perjumpaan kita. Entah karena kamu belum siap menjelaskan atau apa, aku tak tau. Padahal, aku sejak hari itu sudah memutuskan untuk bertahan. Tidak akan mengungkit apapun yang berkaitan dengan "itu", karena aku tau itu akan mengecilkan hatimu.

Saat ku putusakan untuk bertahan. Malah kamu yang menampakkan keraguan. Bisa kah kamu berpikiran lebih positif? Karena keraguan itu muncul disebabkan oleh pikiran negatifmu terhadap diri sendiri. Ku harap, kamu bisa lebih berbaik sangka pada hatimu. Karena hanya kamu yang dapat meyakinkannya, atau malah membuatnya semakin meragu. Semogaku adalah meminta yang sebaik-baiknya untuk kita. Semoga kamu pun begitu.


Depok, akhir tahun 2019
Aku yang mengharapkanmu :)









Friday 28 December 2018

Maaf, Karena Harus Melepaskanmu!


Pernahkah kamu merasakan dilema yang teramat? memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi atas pilihanmu?

Bagiku rasanya seperti dihadapkan dengan sekumpulan tanaman puteri malu yang terhampar luas, dan aku harus melaluinya. Ada dua pertimbangan yang aku pikirkan saat itu. Pertama, aku khawatir akan merusak keindahan sang puteri jika aku dengan terpaksa harus menginjaknya. Kedua, aku mengkhawatirkan kakiku yang tak beralas akan tertancap duri-duri pelindung sang puteri. Atau kah, kamu memiliki kekhawatiran  lain? Jika memang iya, ku rasa kekhawatiran itu tak lepas dari perasaan takut menyakiti atau tersakiti, bukan? Karena hal itu lah yang  aku rasakan.

Bukan hal mudah bagiku untuk akhirnya mengambil keputusan. Ya, aku harus melepasmu. Mengikhlaskanmu untuk berproses tanpa aku. Begitu pun aku yang harus menghadapi semuanya tanpamu. Berat memang, tapi menurutku itu adalah pilihan terbaik untuk masing-masing kita. Karena pilihannya adalah bertahan dengan keraguan atau melepaskan dengan ketidaksiapan. Jika ku pilih bertahan, sungguh aku takut. Takut bila ternyata kebahagiaan yang kita ciptakan bersama hanya lah semu yang nantinya berujung sakit.

Seperti katamu waktu itu; "untuk apa memaksakan bahagia jika tujuannya hanya untuk menunda sedih".

Aku memang tak mampu memahami perkataan itu dalam perspektif mu. Aku sempat bertanya-tanya sendiri akan maksud dari untaian kata yang kamu kirimkan itu. Mungkinkah kamu menyalahkan aku atas keputusanku yang akhirnya menyisakan kepedihan? Ataukah kamu memang setuju dengan keputusanku untuk mencegah kesedihan mendalam. Ya, bagiku melepaskanmu adalah bentuk pencegahan. Pencegahan atas kepedihan yang teramat bila suatu hari nanti kita sama-sama mengetahui bahwa kamu dan aku tidak ditakdirkan bersama. Bukankah lebih baik kita tersakiti sekarang daripada di kemudian hari ketika harapan kita semakin menjadi? Kata-katamu itu ku maknai demikian, entah sama dengan pemaknaan mu atau tidak. Aku tak tahu!

                                           (Gambar oleh Google)


Mendewasakan diri memiliki banyak cara, dan caraku adalah dengan mengikhlaskan apa-apa yang memang belum bisa menjadi milikku sepenuhnya.  Kita pernah salah karena mendahului ketentuan-Nya dengan saling mengharapkan atas nama kenyamanan. Namun aku tersadar bahwa kenyamanan yang ada di antara kita tidak seharusnya kita rasakan. Belum waktunya.

Maaf, karena aku harus melepaskanmu. Maaf, bila aku telah menyakitimu. Sejujurnya banyak kata yang ingin aku sampaikan kepadamu, namun sayangnya aku menyerah untuk mengungkapkan. Sepandai-pandainya manusia merancang masa depan, sungguh, rancangan Allah jauh lebih indah. Mungkin ini memang jalan yang telah disuratkan-Nya untuk kita. Kita harus belajar ikhlas dan mulai berlapang dada atas semua ini. Aku melepaskanmu sebagai usahaku untuk memperbaiki diriku. Semoga kamu pun demikian.

Sampai jumpa pada hati yang lebih lapang.

Depok,
Penghujung tahun 2018

Wednesday 14 November 2018

Sekilas tentang Akar, Sahabatku!

Hai, November!
Akhirnya kita dipertemukan kembali, ya. Sudah sangat lama, bukan?
Satu tahun ternyata sudah berlalu. Aku mungkin tak lagi sama seperti tahun lalu, meskipun hari ini aku masih saja mendayu-dayu. Semu yang kau berikan padaku dulu, menjadi pelajaran berharga bagiku agar tak lagi lengah akan waktu.

Bersamamu tahun lalu, aku telah menuangkan rasaku pada prosa-prosa yang ku buat khusus untuknya. Sosok "kamu" yang tentunya kau tahu betul siapa orangnya. Sosok yang tak pernah lagi ku sebutkan namanya, bahkan tak pernah pula ku sapa orangnya. Dia masih sibuk dengan urusannya di negeri yang belum pernah ku jamah itu. Sedang aku, mulai sibuk dengan duniaku yang baru.

Tidak, tidak!
Kali ini aku tidak akan menceritakan sosoknya, lagi. Padamu di penghujung tahun ini, aku ingin bercerita tentang seseorang yang lain. Seseorang yang begitu menggebu kala berkisah tentang negeri ini. Dia adalah sahabatku yang dalam tulisan ini akan ku panggil dengan sebutan "Akar".

                                        (Gambar oleh Google)

Akar adalah seorang lelaki yang mengaku pemalu tetapi berani melabel dirinya sebagai pujangga yang lapuk dimakan usia. Sebenarnya dia masih sangat muda, tapi sepertinya keadaannya kini tak sebaik dulu. Aku melihat sebagian rasa percaya dirinya memudar saat berdialektika. Entah dengan alasan apa, aku tak tahu. Padahal dulu, ia selalu bersemangat kala menuliskan kisah-kisah pilu penuh tragedi. Tak sungkan mengkritik ketika lagi dan lagi penguasa membuat kebijakan yang mengakibatkan rakyat tak bahagia. 

Pada satu waktu, kami bertemu melalui rangkaian kata miliknya. Yang pada kesempatan itu,  aku mengetahui bahwa dia memang tidak sedang baik-baik saja. Jika aku bertemu dengannya, rasanya ingin sekali aku berbicara tentang banyak hal. Namun ada satu hal utama yang ingin aku sampaikan lebih dulu:

 "Wahai kau, Akar, sahabatku. Berceritalah padaku tentang apa-apa yang memang ingin kau luapkan. Jangan memendamnya sendirian karena hal itu hanya akan membuatmu uring-uringan."

Dulu, dia sering kali menghilang tanpa kabar. Namun kembali muncul kemudian. Andai dia tahu bahwa saat itu aku kerap kali mencarinya. Aku mencemaskannya. Bertanya pada beberapa teman hanya untuk memastikan keadannya. Ada alasan-alasan yang membuatku begitu menunggu kehadirannya. Romatismenya dalam bercerita, senyumnya saat berkata, serta emosinya saat berdiskusi tantang Indonesia. 

Akar adalah sosok pemuda yang begitu mencintai negeri ini. Ia bisa marah sejadi-jadinya kala bumi pertiwi dinodai oleh tangan-tangan tak berjiwa. Setahuku, marahnya Akar akan menghasilkan tulisan-tulisan sarkasme yang penuh dengen perasaam membara. Bahagianya pun demikian. Ketika hatinya berbunga-bunga karena Nusantara, ia akan menuangkannya pada prosa dan puisi-puisi romatis khasnya. Sejujurnya, kadang kala logika ku tak sampai untuk memahami maksudnya karena ia terlampau puitis. Meski begitu, aku selalu menyukai dan menunggu luapan emosinya dalam rangakaian kata-kata. 

Wahai November, sampaikanlah pada Akar bahwa masih ada aku yang menunggu rangkaian kata-kata penuh emosi miliknya. Dan aku akan selalu mendukung setiap apa-apa yang ia lakukan, selagi itu adalah baik dan untuk kebaikan ibu pertiwi. 


Depok,
Pertengahan November, 2018
 
 

Sunday 22 April 2018

Aku yang Telah Kehilanganmu


                                                        (Gambar oleh Google)

Melepaskan ternyata tak semudah perkiraan. Kemarin lalu aku dengan sombongnya mengatakan bahwa aku bisa menghadapi kenyataan. Tapi faktanya, baru hitungan malam saja aku sudah merasakan kehilangan.

Kehilangan sosokmu membuatku hidup uring-uringan. Ada sebuah rasa membuncah yang tak lagi bisa aku luapkan. Seperti ada sesuatu yang hilang hingga menghasilkan sebuah kekosongan. Kekosongan yang sebabnya sudah dapat kupastikan, tentu karena ketidakhadiranmu dalam beberapa episode hidupku belakangan.

Sebelumnya, ku pikir aku akan baik-baik saja tanpamu. Namun kenyataannya tidak begitu. Aku tak kuasa menghilangkan apa-apa yang berhubungan denganmu. Untuk melupakanmu sepertinya aku tak bisa. Karena melupakan artinya harus menghapus episode-episode indah yang pernah membuatku tertawa bahagia. Mungkin baiknya, pilihanku seharusnya adalah tidak melupakanmu.

Seperti katamu hari itu: "jika melupakan adalah kesulitan bagimu, maka biarkan lah ia berjalan apa adanya. Menikmati kesakitan sesekali perlu kita alami, agar nantinya kita bisa mengerti.  Selepas itu, kita pasti menemukan saat di mana kita akan kembali. Entah dengan kita yang tetap sama, atau menjadi kita yang masing-masing. Jalani lah!".

Perkataanmu ada benarnya. Aku tak perlu memaksakan diri untuk lupa. Aku hanya perlu mengesampingkan apa-apa yang mengingatkanku padamu, bukan?

Itu adalah kalimat "hanya" yang sebetulnya rumit. Melakukannya tidak semudah aku berbicara pun merangkai kata. Merencanakan itu mudah dan merealisasikannya adalah sulit. Meskipun demikian, aku harus tetap berusaha, bukan? Aku dan kamu harus melanjutkan episode-episode baru kita yang telah  menjadi masing-masing.  Semogaku adalah yang terbaik untuk kita. Bagaimanapun garis takdirnya, ku harap itu yang sesungguhnya baik.

Sulit!
Definisi kehilangan yang dulu tak pernah sekali pun aku maknai, kini mulai ku mengerti.


Depok,
April 2018

Monday 19 March 2018

Aku Harus Menepi

                                                             (Gambar oleh Google)
Tidak selamanya perahu yang berlayar akan sampai pada tujuan. Sama halnya dengan kita. Meskipun dayung telah ku kayuh kuat-kuat, ternyata angin yang menerjangku jauh lebih kuat. Membuat aku terhuyung dan berputar arah untuk kembali. Menjauhi kamu yang berada di titik awal tujuanku. Aku menyerah.

Menyerahku adalah pasrah.
Aku bukan kalah sebelum berjuang. Karena setidaknya aku sudah pernah merasakan sulitnya memperjuangkan jalan perahuku menujumu. Aku menyerah tepat di tengah-tengah jarak yang memisahkan kita. Jarak yang kini membuat aku sadar diri. Kamu terlalu jauh. Terlalu sulit untuk aku gapai.

Kini aku memahami bahwa aku begitu kerdil untuk bisa mencapai angkasamu. Kamu sungguh  jauh bagiku. Akhirnya aku memutuskan untuk menepi, kembali ke tempatku dan tak lagi mengharapkan dirimu.

Aku hanya membiarkan waktu berlalu, menikmati angin menghembuskan apa-apa yang seharusnya tak lagi singgah di dalam hati. Mengosongkannya meskipun ku tahu itu tak akan mudah terjadi. Kesakitan dan kepedihan adalah imbalan yang pantas untuk masing-masing kita yang akhirnya tak lagi mau saling memperjuangkan. Bukankah itu adalah pelajaran kesakitan yang bisa kita ambil agar tak lagi mengulanginya?

Perjuangan ternyata memang tak selalu memuaskan. Seperti perjuangan kita yang akhirnya berakhir tanpa hasil. Nihil. Kita telah menjadi masing-masing hati yang tak lagi mau saling memaknai. Kita adalah anai yang berjalan kesana kemari tanpa pernah tau jalan mana yang sebenarnya akan membawa kita untuk kembali.

Jakarta, Maret 2018
Dalam bingkai kayu tak bersuara

Thursday 15 February 2018

Sepenggal Cerita tentang Kamu

Bila kamu melihat beberapa tulisanku sebelum ini, kamu pasti akan mengerti bagaimana perasaanku. Kamu juga pasti akan menemukan kata-kata yang tertuju padamu. Ya, tulisan yang selalu menyebutkan kata "kamu", adalah prosa-prosa tanpa alamat yang aku buat berdasarkan tulisan-tulisanmu yang dahulu.

Aku telah menjatuhkan hatiku padamu sejak kali pertama aku membaca tulisan indahmu. Kamu selalu berhasil menaik turunkan perasaanku hanya dengan rangkaian kata yang tak bersuara milikmu itu. Jika kamu tahu, mungkin kamu akan mengatakan bahwa aku terlalu percaya diri. Mengharapkan barisan kata itu ditujukan untukku. Padahal aku jelas tahu, bukan aku tokoh utama dari setiap prosamu.

Namun, meski aku tahu yang sebenarnya. Tetap saja aku tak bisa mengelak bahwa aku menginginkannya. Aku menginginkan posisi utama yang terkandung dalam prosamu. Aku ingin kamu menuliskannya hanya untukku.

Membaca tulisanmu bagiku adalah candu. Membuat aku menginginkannya lagi dan lagi. Bahkan tak membuatku bosan meski telah ku baca berulang kali. Keindahan rasa yang kamu tuangnya selalu membuat aku terbuai bersama ketidakpastian. Ketidakpastian yang sebetulnya sudah dapat ku pastikan, tapi aku menolak untuk mengerti.

Terkadang tidak mengerti adalah anugerah. Kerena ketika aku mulai mengerti dan ternyata sesuatu yang pasti itu berlainan dengan hati, pasti aku akan tersakiti. Maka untuk kesekian kalinya, aku akan berpura-pura tak mengerti.

                                                          (Gambar oleh Google)

Selamat kembali pada pagi di musim dingin.


Depok,
Februari 2018
Saat burung-burung bernyanyian


Tuesday 19 December 2017

Hati yang Beku



Sebagai seorang manusia, aku merasa bahwa kata baik belum pantas disematkan padaku. Sebaik-baiknya kata adalah milik-Nya Yang Maha Baik, Maha Segalanya. Banyak salah yang selalu aku kambing hitamkan pada kata "khilaf". Memohon ampunan dan mengatakan bahwa aku telah khilaf adalah kebiasaanku. Detik itu aku bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Tapi dasar manusia, tekadku ternyata tak bertahan lama. Esoknya, entah sadar atau tidak, aku mengulanginya lagi. Lalu kembali menyesal. Kemudian, memohon ampunan dan mengatakan bahwa aku telah khilaf, lagi.

Astagfirullah!
Aku bahkan ingin merutuki diriku sendiri yang sebegitu tidak konsistennya. Mengapa aku terus menerus mengulangi kesalahan yang sudah aku ketahui sebelumnya? Mengapa aku tak pernah bisa belajar dari masa lalu? Mengapa aku selalu mengulangnya meskipun aku tahu bahwa hal itu adalah salah?

Sungguh, rasanya aku ingin marah dan meneriaki diriku sendiri. Sebodoh itu kah aku hingga tak mampu lagi memindai hal-hal yang tidak baik?

Katanya, hati adalah penentu baik-buruknya manusia. Lantas aku bagaimana? belakangan ini aku merasa beku. Mungkin karena kesalahan yang aku namakan khilaf itu terlalu banyak ku lakukan. Atau mungkin karena belakangan ini aku menjauh dari-Nya? Aku sepertinya kurang mendekat. Beberapa bulan terakhir ini aku kurang sekali untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Sekadar kewajiban saja yang aku lakukan, dan sisanya aku sia-siakan. Ya Allah maafkan aku.

Ingin rasanya aku bisa menangis, karena belakangan ini aku bahkan kesulitan untuk menangis. Hatiku terasa membeku. Membuat buliran bening itu sulit mencair dan keluar dari pelupuk mataku. Aku ingin sekali menangis saat mengatakan bahwa aku khilaf, dan memohon ampunan pada-Nya. Aku ingin menangisi kesalahku agar aku dapat merasakan hatiku yang menghangat seperti dulu. Aku tak ingin hati ini terus menerus diselubungi kedingingan. Aku ingin ia menghangat kembali.

Ya Allah, ampuni aku.