Sunday 11 September 2016

Andai




Manusia, makhluk yang tidak pernah berpuas diri. Ketika Tuhan telah memberikan apa yang dibutuhkan, manusia berkeras untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Tidak ada yang salah, dengan itu. Bekerja keras untuk sesuatu yang pantas memang perlu, namun ketika berlebihan itu akan menjadi bumerang untuk diri sendiri. 

Ini bukan hanya tentang kebutuhan dan keinginan. Tapi, lebih tentang bagaimana kita harus bersyukur. Kesyukuran, katanya akan meningkatkan keyakinan kita terhadap Sang Maha Pencipta. 

Berandai itu boleh, bahkan akan lebih baik jika itu diusahakan agar tak hanya sekadar pengandaian semata. Mengandaikan berbagai hal baik tentunya.

Kalau boleh berandai. Andai, ini hanya andai, andai saja aku bisa menjadi bunga mawar. Dikagumi banyak orang karena kecantikannya, karena keharumannya, dan karena makna filosofinya. Meskipun berduri, namun tetap indah di pandang mata. Banyak orang rela megeluarkan sejumlah uang hanya untuk membelinya dan memberikannya kepala orang terkasih. Sebagai penyirat kata sayang, kagum, cinta, terimakasih, menghormati, bahkan duka cita. 


Namun, ketika sang mawar mulai layu, perlahan dia akan disingkirkan, tidak diindahkan, bahkan dibuang. Teronggok di lantai, di tanah, di jalan, dan di pembuangan sampah. Sampai akhirnya terkikis oleh angin hingga menghilang dan menyisakan debu yang tak nampak. 

Kalau boleh berandai. Andai, ini hanya andai, andai saja aku bisa menjadi menjadi matahari. Bersinar dan menjadi sumber cahaya bagi semua makhluk di bumi, bahkan di alam semesta. Menjadi energi penghangat saat dingin menyapa. 



Namun, ketika sang surya terlalu bahagia hingga menyinarkan terangnya dengan gembira, orang-orang mengeluh. Terlalu banyak peluh yang percucur karenanya. Membuat beberapa muka bumi kekeringan karena endapan air yang menguap saking panasnya. Terlalu terik, katanya. Dan, saat sang mentari bersedih hati, enggan menampakkan sinarnya. Dia justru dinantikan karena awan mendung menyembunyikannya. Banyak orang mengeluh. Kemana sang surya yang biasanya bersinar? Pakaianku jadi tidak kering, udara jadi terlalu dingin, katanya. 

Semua jadi serba salah. 

Kalau boleh berandai. Andai, ini hanya andai, andai saja aku menjadi malam. Gelap tapi menenangkan. Selalu ditunggu banyak orang sebagai waktu beristirahat. Merehatkan diri dari aktivitas seharian tadi, dan waktu menyiapkan tenaga untuk aktivitas esok hari. Saat dimana orang-orang beriman memanjatkan doa dan memohon ampun, berkeluh kesah bahkan tak malu untuk menangis. Aku sungguh bahagia dengan saat-saat itu.


Namun, malam juga digunakan sebagian orang untuk bersenang-senang, berhura-hura bahkan berbuat dosa. Mereka yang membiarkan organ tubuhnya terjaga sepanjang malam untuk meyaksikan tontotan yang sudah ditunggu, esoknya akan bangun kesiangan, atau bahkan kesorean. Siang menyalahkan malam karena itu. Bahkan organ tubuhnya menyalahkan malam karena mereka tak mendapatkan waktu beristirahat. Gara-gara semalam, karena malam itu, ungkapnya.

Kalau boleh berandai. Andai, ini hanya andai, andai saja aku seorang menteri. Memiliki jabatan dan disebut petinggi. Banyak orang mengenalku, minimal pernah mendengar namaku. Banyak orang menghormatiku, juga memerhatikanku tanpa celah. Selalu diberikan tempat khusus dimanapun aku berada. Selalu mendapat senyuman hangat dari siapapun yang aku sapa, bahkan meskipun aku tak menyapa. 



Namun, ketika sebuah kesalahan kecil saja yang aku hasilkan. Aku langsung digunjing, dituding, bahkan diguling. Tak ada lagi senyuman hangat, yang ada hanya tatapan tajam dengan tuntutan perbaikan.

Semua jadi serba salah.


Semua pengandaian ini memang terlihat manis di awal, namun akhirnya selalu ada pahit yang terasa. Begitupun hidup, bila terus mengingikan sesuatu yang tak terjamah, maka jangan salahkan takdir bila ia membuatmu merjerembab. Jatuh.

Bukan maksud memintamu untuk tidak pernah berandai. Bukan pula mematikan segala mimpi yang telah terangcang. Hanya menyadarkan diri sendiri untuk lebih sering bersyukur. Sering kali ketika obsesi mulai menjerat, aku merasa harus berusaha keras. Namun, melupakan rasa syukur yang seharusnya menyertai.

Ini hanya untuk menyadarkan diri sendiri. Tidak ada maksud mencela atau bahkan menjatuhkan. Hanya ingin mengingatkan jika mensyukuri segala yang aku miliki akan terasa lebih indah dibandingkan dengan mengejar sesuatu yang belum belum pasti ada, untukku.

Terus mengingatkan, jangan lupa bersyukur agar tak lupa caranya bahagia.

Semua ini hanya andai …

Saturday 10 September 2016

Aku Rapuh


Kamu tau aku, bukan? Gadis kecil yang tak bisa apa-apa bila sendirian. Ya, itulah aku. Aku yang selalu takut dengan orang-orang.  Aku bukan takut keramaian, namun hanya takut tidak diacuhkan dalam keramaian. Dan, kamu yang paling tau tentang itu.

Aku memang tak pandai berbasa-basi, pun berpura-pura menyapa. Apalagi membuka pembicaraan. Aku tau, karena itu aku tak punya banyak teman. Tapi, bukan berarti aku tak butuh teman. Aku merasa rapuh ketika sendirian. Sudah ku katakan, bukan? Aku tak bisa apa-apa bila sendirian.

Jika kamu hanya ingin bilang kalau aku harus terus mencoba, aku akan menjawab bahwa aku lelah. Aku lelah terabaikan, aku lelah tidak diacuhkan, aku lelah tidak didengarkan, dan aku lelah sendirian.

Aku butuh kamu untuk merekatkan setiap inchi kerapuhan ini. Aku butuh kamu untuk mengingatkan bahwa aku masih punya Dia, Yang  Maha Menguatkan. Aku butuh diingatkan, aku butuh dikuatkan.

Aku tidak menginginkan anggapan, aku tidak memaksa dunia untuk menganggapku ada. Tapi, aku hanya butuh dunia membukakan pintu kenyamanan untukku. Atau aku yang harus membuka pintu itu untuk dunia? Entahlah.


Yang aku tau, aku rapuh bila sendirian. Aku butuh kamu. Kamu yang selalu bersemangat mengajakku menghadapi dunia yang ramai dan penuh dusta ini. Kamu yang selalu meyakinkan aku bahwa masih ada cahaya di dalam gulita. Kamu yang selalu memintaku mendengarkan dan mau mendengarkanku.

Dan, Kamu yang selalu bercerita tentang dunia yang tak terjamah olehku. Dari ceritamu lah aku mengetahui banyak hal yang menghiasi semesta. Tentang menerima dan tidak diterima. Tentang mengajak dan tidak diajak. Tentang mengasihi dan membenci, juga tentang kepemilikan dan kehilangan.

Aku rapuh. Sungguh. Wahai Engkau Pemilik Semesta, izinkanlah aku untuk memohon ampun padamu. Ampuni aku atas kerapuhanku. Ampuni aku atas ketidakberdayaanku. Dan ampuni aku atas segala kelalaian ibadahku karena kerapuhan ini. Ampuni aku.

Mungkin aku memang tak pantas meminta. Tapi, jika boleh aku hanya meminta sejumlah orang yang bisa menguatkanku, taruhlah aku di antara orang-orang itu.
                                                                    
                                                                        Aku yang masih rapuh