"Satya udah
hubungi kamu Sya?"
"Belum Mbak.
Kayaknya dia sibuk"
"Tapi dia udah
tau belum kalo kamu wisuda minggu depan?"
"Aku udah
whatsapp dia Mbak kemaren. Tapi cuma ceklis satu"
"Ya ampun Sya.
telpon lah kalo gitu. Gimana kalo dia nggak aktifin internetnya terus?"
Aku terdiam.
Sudah beberapa hari
ini aku memang tak bisa menghubungimu. Biasanya kamu selalu aktif whatsapp dan
langsung membalas pesanku saat itu juga. Tapi kini aku seperti kehilanganmu, Kak.
Mbak Kirana bilang aku perlu menelponmu untuk mengabari perihal wisudaku yang
akan dilaksanakan Rabu depan. Tapi, aku sama sekali tak punya keberanian untuk
melakukan hal itu. Selama ini kita hanya berkomunikasi via pesan whatsapp, itu
pun saat diperlukan saja. Tak pernah sekali pun kita berbicara melalui telpon
apalagi pertemuan langsung yang direncanakan.
Terakhir bertemu
memang satu bulan lalu ketika kita sama-sama takziah ke tempat almarhum salah
seorang guru SMA. Itu juga benar-benar hanya bertemu kemudian lalu. Kamu yang
begitu terburu-buru hanya mempersilahkanku tersenyum menyapamu tanpa mengucap
sepatah katapun padamu.
Kamu yang kini sudah
bekerja di sebuah perusahaan IT tampaknya begitu sibuk dengan berbagai urusan
pekerjaan. Aku tak ingin mengganggumu karena itu. Tapi, apakah kini aku harus
benar-benar menelponmu untuk mengabarimu jadwal wisudaku?
Pasalnya dulu kamu
pernah berkata melalui sebuah pesan whatsapp padaku.
"Nanti
kalo kamu wisuda, insya Allah aku ke Jakarta"
Satu kata pun rasanya
takkan pernah hilang dari ingatanku. Karena setiap pesan darimu masih tersimpan
rapi dalam riwayat percakapan kita di whatsapp. Aku tak pernah sekali pun
berniat menghapusnya karena komunikasi yang terjadi antara kita adalah hal
langka yang bagiku perlu diabadikan.
"Sya, nggak ada
salahnya kok kamu telpon duluan. Lagian kalian kan udah lama nunggu saat-saat
ini" kata Mbak Kirana lagi di sela-sela kegiatannya menidurkan Rania—keponakanku.
"Aku takut
ganggu dia Mbak"
"Sya, bukannya
dia bilang mau datang pas kamu wisuda?" Aku mengangguk. "Itu
artinya dia minta kamu buat telpon dia segera. Sana telpon!" Mbak Kirana
lagi-lagi berasumsi seenak mulutnya berkata sambil menepuk pelan punggung
putrinya yang telah terlelap. Tapi kali ini, aku rasa Mbak Kirana ada benarnya.
Kamu sendiri yang bilang akan hadir di wisudaku, berarti aku hanya perlu
menyampaikan kabarnya saja bukan?
Jujur, aku memang
begitu mengharapkan kehadiranmu saat wisuda nanti. Bukan semata-mata karena ingin
ucapan selamat apalagi sebuket bunga darimu, bukan! Tetapi karena ada hal
lain yang lebih penting dari itu. Hal yang menjadi rencanamu sejak lama dan aku
menunggu-nunggu hal itu.
"Hei! Kenapa
malah bengong?" Mbak Kirana tak henti-hentinya menegurku. "Belum
berani buat telpon juga?" tanyanya sambil tersenyum sarkastik padaku.
Kakakku ini memang selalu berhasil membuatku berpikir ulang.
"Nanti aja Mbak,
aku telpon abis Dhuzur"
"Jangan
ditunda-tunda Sya. Inget nggak? kamu udah nunda lulus satu tahun, artinya kamu
udah ngebiarin Satya nunda niat baiknya selama satu tahun!"
JLEB!
Perkataan Mbak Kirana
memang selalu membuatku terpukul telak. Benar! Aku sudah membuatmu menunggu
lebih lama. Kesibukanku dengan kegiatan organisasi di kampus memang menjadi salah
satu alasan kuat yang mengharuskanku tidak mendapatkan gelar sarjana dalam
empat tahun.
Dan kini aku sudah
mendapatkannya, meskipun harus menambah waktu kuliahku selama satu tahun, yang
artinya juga menambah waktu kita sama-sama menunggu. Dari semua penilaianku
terhadapmu, aku tahu pasti bahwa dirimu sudah mencapai kata pantas dan siap
sejak lama. Namun aku harus benar-benar mengucapkan kata maaf padamu karena
telah membuatmu harus menungguku lebih lama.
Maaf Kak, aku tidak
bisa lulus dalam empat tahun seperti rencana kita di awal.
Pernah suatu hari,
Allah mempertemukan kita tanpa kita rencanakan sebelumnya. Semarang menjadi
sebuah kota yang mempertemukan dua insan yang sejak lama tak bersua. Embusan
angin di Simpang Lima Semarang menjadi saksi atas ketidakpercayaan dan kebisuan
kita selama beberapa jenak. Aku yang saat itu antara takut dan bahagia kala
melihatmu di tempat yang tak pernah kuduga. Dan kamu yang tampak sama
terkejutnya denganku.
"Nisya?"
kamu yang mengakhiri keterbisuan kita dengan memanggil namaku seolah tak
percaya. Keterkejutan di wajahmu seketika hilang dan berganti dengan senyuman
hangat khas dirimu. Iya, kamu tersenyum dan melangkah pelan ke arahku.
Semua masih terasa
sama, aku selalu merasakan sebuah sentakan aneh di balik dadaku kala melihat
senyumanmu itu.
"Kakak kok
disini?" Aku lebih dulu bertanya saat dirimu sudah berdiri beberapa
langkah di hadapanku.
"Tadi abis
meeting di deket sini, dan entah kenapa pengen banget ke Simpang Lima. Eh, ternyata
ada kamu Sya" kamu menjawab dengan senyuman yang masih tak hilang dari
wajahmu.
Aku percaya tidak ada
kebetulan di dunia ini. Yang ada hanyalah takdir yang telah Allah rencanakan. Hampir sama sepertimu, aku
baru semalam sampai di Semarang dan pagi ini Simpang Lima adalah tempat pertama
pilihanku. Aku pun sama sekali tak menduga bahwa kita akan dipertemukan di kota
kelahiranku ini.
"Kamu sama siapa
Sya?" tanyamu lagi saat kita sudah sama-sama duduk di tepi taman. Lalu
lalang manusia di Simpang Lima menjadi pemandangan yang begitu menarik,
terlebih karena kehadiranmu di disini.
"Sendiri Kak,
aku lagi nginep di rumah eyang, nggak jauh dari sini" jawabku padamu sambil
memandang keramaian Simpang Lima.
Kamu hanya
menganggukkan kepala tanda memahami perkataanku. Melihatmu sedekat itu membuat
aku menyadari satu hal, wajahmu tampak
berbeda. Bukan karena frame kacamata yang kamu pakai berbeda dari terakhir kali
kita bertemu. Tapi benar-benar perbedaan alami yang tampak di wajahmu. Terlihat
lebih dewasa sudah tentu, tapi garis rambut tipis di atas bibirmu adalah satu
hal yang paling mencolok di terima mataku. Itu kumis. Ah, benar! Kamu berkumis.
Bukankah itu salah
satu keinginanmu? Aku ingat betul ketika kita masih sama-sama mengenakan seragam
putih abu-abu dengan tingkat yang berbeda, kamu pernah memberitahuku salah satu
keinginanmu di sela-sela kegiatan class meeting waktu itu.
Jakarta, 7 Juni
2009
“Sya, kamu lihat Pak Arman disana?” katamu waktu itu
saat kita berada di pinggir lapangan. Aku yang waktu itu tengah menyeruput
es teh manis hanya menganggukkan kepala dan mengikuti arah pandangmu. “Bisa nggak ya aku
punya kumis kayak Pak Arman?”
katamu lagi sambil tersenyum penuh harap.
Kata-katamu
saat itu sungguh membuatku terheran-heran. Bukankah semua laki-laki akan
memiliki kumis ketika dewasa nanti?
“Hah? Kumis?” Tanyaku kebingungan.
Aku refleks menoleh ke arahmu dan memandang wajahmu lekat-lekat. Sepersekian
detik setelah kamu menyelesaikan ucapanmu yang terdengar konyol di telingaku
itu, aku langsung membayangkan bagaimana dirimu ketika berkumis nanti. Tak
butuh waktu lama, aku langsung tertawa di sampingmu karena membayangkan kumis Pak Arman berada di wajahmu.
Melihatku
tertawa kamu menampakkan kebingungan di wajah berkacamatamu. “Loh, kok ketawa?” Meskipun sulit, aku berusaha menghentikan
gelak tawaku karena pikiran konyol itu.
“Kayaknya bakal lucu deh kalo Kakak
berkumis kayak Pak Arman” ungkapku
yang masih berusaha meredam tawa.
“Hmm, lihat aja nanti. Kamu pasti
terpukau kalo aku punya kumis!”
balasmu dengan penuh percaya diri.
Ah, benar!
Perkataanmu ternyata benar!
Aku tidak tertawa
sama sekali melihatmu memiliki garis rambut tipis di antara bibir dan hidungmu,
yang ada aku malah memujimu yang tampak begitu dewasa dengan kumis itu. Aku
benar terpikat padamu saat itu.
Astaghfirullah!
Aku beristighfar
dalam hati kemudian mengalihkan pandanganku ke sembarang tepat kecuali wajahmu.
Bising kendaraan dan riuh suara manusia berbaur dengan degup jantungku
yang tiba-tiba berdegup lebih kencang setelah aku beristighfar. Rasanya seperti
banyak kuda-kuda yang berlarian di dalam sana. Ah, sepertinya jantungku beralih
fungsi dari organ pemompa darah menjadi sebuah pacuan kuda yang ramai.
Astaghfirullah hal adzim!
Ucapku lagi membatin.
Mencoba menenangkan hati dan meredam pacuan kuda yang tak seharusnya berada di
jantungku.
“Sya” Tiba-tiba kamu memanggilku. Membuat aku
nyaris terperajat karena kagetnya. “Gimana Skripsi kamu? Lancar?”
Angin yang tadinya
sejuk seketika berubah menjadi badai kala aku mendengar pertanyaanmu. Skripsi?
Apa itu skripsi? Rasanya aku ingin amnesia sesaat. Datangnya aku ke Semarang
adalah untuk menghindari kata-kata itu. Menghindari hal itu. Tepatnya, untuk merenungkan
kelalaianku yang tak dapat mengatur waktuku dan diriku dengan baik.
Mungkin bisa
dikatakan bahwa aku melarikan diri. Dua minggu ke depan sebagian teman
seangkatanku akan mengenakan toga dan resmi menyandang gelar sarjana.
Sedangkan aku?
Jangankan memakai toga, Penelitianku saja masih belum kelar. Aku terlalu sibuk
dengan urusan organisasi kampus dan kewajibanku sebagai guru. Sampai-sampai
penelitian untuk mengisi skripsiku saja belum rampung. Empat bulan terakhir ini
aku memang sudah mengajar di sekolah menggantikan salah seorang guru yang cuti
melahirkan, pada awalnya. Tapi karena masalah kesehatan buah hatinya guru itu
memutuskan untuk berhenti mengajar agar fokus untuk membesarkan putranya.
Jadilah aku tetap
menggantikan posisinya sebagai wali kelas sampai waktu yang tak ditentukan. Selain
karena permintaan sekolah, ini adalah impianku. Menjadi seorang guru.
Kesibukkan sebagai seorang guru dan wali kelas membuatku terbuai karena kenyamanannya
belajar bersama anak-anak kelas 1 di sebuah SMP Islam swasta di Jakarta.
Sekolah ini adalah sekolah tempat aku melaksanakan praktek kegiatan mengajar ketika semester 7
lalu.
Kegagalanku lulus
dalam empat tahun bukan karena organisasi atau peranku sebagai guru, melainkan
karena kelalaianku yang tak bisa mengatur waktuku dengan baik. Jadilah aku
seperti ini hingga melarikan diri ke Semarang untuk setidaknya menetralkan pikiran
dan perasaanku.
Mendadak aku
menyadari sesuatu. Sesuatu yang membuatku kesulitan menelan salivaku sendiri,
seakan kelat di tenggorokan. Aku tidak lulus tepat waktu artinya aku membuatmu
menunggu lebih lama.
"Maaf Kak!"
Hanya dua kata itu
yang berhasil lolos dari celah bibirku. Aku seperti tak berdaya untuk
mengatakan hal lain selain kata maaf padamu saat itu.
"Maaf untuk
apa?" Kamu menoleh padaku dengan heran yang begitu jelas pada wajahmu.
Ya Allah, ternyata
kelalaianku dalam penyelesaian skripsi bukan hanya berimbas pada masa studiku
yang bertambah tapi pada masa menunggumu juga. Masa menunggu kita.
Tawa renyah para
remaja dan teriakan seorang bocah yang memanggil nama temannya terdengar begitu
menyakitkan di telingaku. Duniaku serasa beku. Menundukkan kepada dan menatap
sepasang flat shoes biru dongker usang adalah pilihanku.
Aku tak sanggup untuk menampakkan wajah ini di hadapanmu Kak. Aku tak mampu menatapmu
karena aku telah mengecewakanmu. Maaf!
"Maaf!"
Lagi-lagi kata itu yang terucap dengan suara parauku karena menahan isak.
"Maaf karena aku nggak bisa lulus tepat waktu"
Luruh. Akhirnya
terjatuh juga. Buliran hangat yang terasa dingin karena terpaan angin. Aku
benar-benar tak menyangka, lagi-lagi aku menangis di depanmu. Rasanya aku adalah
seorang perempuan yang tak tahu malu karena seenaknya menumpahkan air mata di
hadapanmu, di tengah keramaian kota Semarang.
Dan lagi-lagi, kamu
hanya diam. Sungguh, aku semakin tersedu karena keterdiamanmu. Aku takut jika
kamu benar-benar kecewa padaku karena aku tak bisa menepati janjiku untuk lulus
dalam empat tahun, yang artinya kamu harus menungguku lebih lama lagi.
"Sya, nggak
pa-pa kok. Kamu udah berusaha dengan
baik. Mungkin kamu emang nggak lulus tepat waktu, tapi Allah pasti udah menyediakan waktu yang tepat
untuk kelulusanmu"
Akhirnya aku
mendengarmu bersuara. Suara renyahmu terdengar santai seolah kamu baik-baik
saja. Atau mungkin kamu memang baik-baik saja. Karena akulah yang tidak
baik-baik saja.
"Kalo kamu
nangis karena aku, sungguh, aku nggak pa-pa Sya. Insya Allah aku akan tunggu
sampai waktu yang tepat itu tiba"
Semua perkataanmu
selalu membuatku mengagumimu sekaligus malu padamu. Ketulusanmu, kesabaranmu
serta keikhlasanmu. Aku sungguh malu padamu Kak. Empat tahunmu tampaknya benar-benar
membuahkan hasil. Sedangkan empat tahunku? masih banyak hal yang perlu aku
perbaiki. Mungkin karena aku belum mencapai kata pantas makanya Allah menunda
kelulusanku, yang secara tidak langsung juga menunda harapanku untuk menjadi
seseorang bagimu.