Saturday 31 December 2016

Aku (Tak) Kecewa: 2. Maaf, Membuatmu Menunggu Lebih Lama


 
"Satya udah hubungi kamu Sya?"
"Belum Mbak. Kayaknya dia sibuk"
"Tapi dia udah tau belum kalo kamu wisuda minggu depan?"
"Aku udah whatsapp dia Mbak kemaren. Tapi cuma ceklis satu"
"Ya ampun Sya. telpon lah kalo gitu. Gimana kalo dia nggak aktifin internetnya terus?"
Aku terdiam.
Sudah beberapa hari ini aku memang tak bisa menghubungimu. Biasanya kamu selalu aktif whatsapp dan langsung membalas pesanku saat itu juga. Tapi kini aku seperti kehilanganmu, Kak. Mbak Kirana bilang aku perlu menelponmu untuk mengabari perihal wisudaku yang akan dilaksanakan Rabu depan. Tapi, aku sama sekali tak punya keberanian untuk melakukan hal itu. Selama ini kita hanya berkomunikasi via pesan whatsapp, itu pun saat diperlukan saja. Tak pernah sekali pun kita berbicara melalui telpon apalagi pertemuan langsung yang direncanakan.
Terakhir bertemu memang satu bulan lalu ketika kita sama-sama takziah ke tempat almarhum salah seorang guru SMA. Itu juga benar-benar hanya bertemu kemudian lalu. Kamu yang begitu terburu-buru hanya mempersilahkanku tersenyum menyapamu tanpa mengucap sepatah katapun padamu.
Kamu yang kini sudah bekerja di sebuah perusahaan IT tampaknya begitu sibuk dengan berbagai urusan pekerjaan. Aku tak ingin mengganggumu karena itu. Tapi, apakah kini aku harus benar-benar menelponmu untuk mengabarimu jadwal wisudaku?
Pasalnya dulu kamu pernah berkata melalui sebuah pesan whatsapp padaku.
"Nanti kalo kamu wisuda, insya Allah aku ke Jakarta"
Satu kata pun rasanya takkan pernah hilang dari ingatanku. Karena setiap pesan darimu masih tersimpan rapi dalam riwayat percakapan kita di whatsapp. Aku tak pernah sekali pun berniat menghapusnya karena komunikasi yang terjadi antara kita adalah hal langka yang bagiku perlu diabadikan.
"Sya, nggak ada salahnya kok kamu telpon duluan. Lagian kalian kan udah lama nunggu saat-saat ini" kata Mbak Kirana lagi di sela-sela kegiatannya menidurkan Raniakeponakanku.
"Aku takut ganggu dia Mbak"
"Sya, bukannya dia bilang mau datang pas kamu wisuda?" Aku mengangguk. "Itu artinya dia minta kamu buat telpon dia segera. Sana telpon!" Mbak Kirana lagi-lagi berasumsi seenak mulutnya berkata sambil menepuk pelan punggung putrinya yang telah terlelap. Tapi kali ini, aku rasa Mbak Kirana ada benarnya. Kamu sendiri yang bilang akan hadir di wisudaku, berarti aku hanya perlu menyampaikan kabarnya saja bukan?
Jujur, aku memang begitu mengharapkan kehadiranmu saat wisuda nanti. Bukan semata-mata karena ingin ucapan selamat apalagi sebuket bunga darimu, bukan! Tetapi karena ada hal lain yang lebih penting dari itu. Hal yang menjadi rencanamu sejak lama dan aku menunggu-nunggu hal itu.
"Hei! Kenapa malah bengong?" Mbak Kirana tak henti-hentinya menegurku. "Belum berani buat telpon juga?" tanyanya sambil tersenyum sarkastik padaku. Kakakku ini memang selalu berhasil membuatku berpikir ulang.
"Nanti aja Mbak, aku telpon abis Dhuzur"
"Jangan ditunda-tunda Sya. Inget nggak? kamu udah nunda lulus satu tahun, artinya kamu udah ngebiarin Satya nunda niat baiknya selama satu tahun!"
JLEB!
Perkataan Mbak Kirana memang selalu membuatku terpukul telak. Benar! Aku sudah membuatmu menunggu lebih lama. Kesibukanku dengan kegiatan organisasi di kampus memang menjadi salah satu alasan kuat yang mengharuskanku tidak mendapatkan gelar sarjana dalam empat tahun.
Dan kini aku sudah mendapatkannya, meskipun harus menambah waktu kuliahku selama satu tahun, yang artinya juga menambah waktu kita sama-sama menunggu. Dari semua penilaianku terhadapmu, aku tahu pasti bahwa dirimu sudah mencapai kata pantas dan siap sejak lama. Namun aku harus benar-benar mengucapkan kata maaf padamu karena telah membuatmu harus menungguku lebih lama.
Maaf Kak, aku tidak bisa lulus dalam empat tahun seperti rencana kita di awal.
Pernah suatu hari, Allah mempertemukan kita tanpa kita rencanakan sebelumnya. Semarang menjadi sebuah kota yang mempertemukan dua insan yang sejak lama tak bersua. Embusan angin di Simpang Lima Semarang menjadi saksi atas ketidakpercayaan dan kebisuan kita selama beberapa jenak. Aku yang saat itu antara takut dan bahagia kala melihatmu di tempat yang tak pernah kuduga. Dan kamu yang tampak sama terkejutnya denganku.
"Nisya?" kamu yang mengakhiri keterbisuan kita dengan memanggil namaku seolah tak percaya. Keterkejutan di wajahmu seketika hilang dan berganti dengan senyuman hangat khas dirimu. Iya, kamu tersenyum dan melangkah pelan ke arahku.
Semua masih terasa sama, aku selalu merasakan sebuah sentakan aneh di balik dadaku kala melihat senyumanmu itu.
"Kakak kok disini?" Aku lebih dulu bertanya saat dirimu sudah berdiri beberapa langkah di hadapanku.
"Tadi abis meeting di deket sini, dan entah kenapa pengen banget ke Simpang Lima. Eh, ternyata ada kamu Sya" kamu menjawab dengan senyuman yang masih tak hilang dari wajahmu.
Aku percaya tidak ada kebetulan di dunia ini. Yang ada hanyalah takdir yang telah Allah rencanakan. Hampir sama sepertimu, aku baru semalam sampai di Semarang dan pagi ini Simpang Lima adalah tempat pertama pilihanku. Aku pun sama sekali tak menduga bahwa kita akan dipertemukan di kota kelahiranku ini.
"Kamu sama siapa Sya?" tanyamu lagi saat kita sudah sama-sama duduk di tepi taman. Lalu lalang manusia di Simpang Lima menjadi pemandangan yang begitu menarik, terlebih karena kehadiranmu di disini.
"Sendiri Kak, aku lagi nginep di rumah eyang, nggak jauh dari sini" jawabku padamu sambil memandang keramaian Simpang Lima.
Kamu hanya menganggukkan kepala tanda memahami perkataanku. Melihatmu sedekat itu membuat aku menyadari  satu hal, wajahmu tampak berbeda. Bukan karena frame kacamata yang kamu pakai berbeda dari terakhir kali kita bertemu. Tapi benar-benar perbedaan alami yang tampak di wajahmu. Terlihat lebih dewasa sudah tentu, tapi garis rambut tipis di atas bibirmu adalah satu hal yang paling mencolok di terima mataku. Itu kumis. Ah, benar! Kamu berkumis.
Bukankah itu salah satu keinginanmu? Aku ingat betul ketika kita masih sama-sama mengenakan seragam putih abu-abu dengan tingkat yang berbeda, kamu pernah memberitahuku salah satu keinginanmu di sela-sela kegiatan class meeting waktu itu.
Jakarta, 7 Juni 2009
Sya, kamu lihat Pak Arman disana? katamu waktu itu saat kita berada di  pinggir lapangan. Aku yang waktu itu tengah menyeruput es teh manis hanya menganggukkan kepala dan mengikuti arah pandangmu. Bisa nggak ya aku punya kumis kayak Pak Arman? katamu lagi sambil tersenyum penuh harap.
Kata-katamu saat itu sungguh membuatku terheran-heran. Bukankah semua laki-laki akan memiliki kumis ketika dewasa nanti?
Hah? Kumis? Tanyaku kebingungan. Aku refleks menoleh ke arahmu dan memandang wajahmu lekat-lekat. Sepersekian detik setelah kamu menyelesaikan ucapanmu yang terdengar konyol di telingaku itu, aku langsung membayangkan bagaimana dirimu ketika berkumis nanti. Tak butuh waktu lama, aku langsung tertawa di sampingmu karena membayangkan kumis Pak Arman berada di wajahmu.
Melihatku tertawa kamu menampakkan kebingungan di wajah berkacamatamu. Loh, kok ketawa?  Meskipun sulit, aku berusaha menghentikan gelak tawaku karena pikiran konyol itu.
Kayaknya bakal lucu deh kalo Kakak berkumis kayak Pak Armanungkapku yang masih berusaha meredam tawa.
Hmm, lihat aja nanti. Kamu pasti terpukau kalo aku punya kumis! balasmu dengan penuh percaya diri. 
Ah, benar! Perkataanmu ternyata benar!
Aku tidak tertawa sama sekali melihatmu memiliki garis rambut tipis di antara bibir dan hidungmu, yang ada aku malah memujimu yang tampak begitu dewasa dengan kumis itu. Aku benar terpikat padamu saat itu.
Astaghfirullah!
Aku beristighfar dalam hati kemudian mengalihkan pandanganku ke sembarang tepat kecuali wajahmu. Bising kendaraan  dan riuh suara manusia berbaur dengan degup jantungku yang tiba-tiba berdegup lebih kencang setelah aku beristighfar. Rasanya seperti banyak kuda-kuda yang berlarian di dalam sana. Ah, sepertinya jantungku beralih fungsi dari organ pemompa darah menjadi sebuah pacuan kuda yang ramai.
Astaghfirullah hal adzim!
Ucapku lagi membatin. Mencoba menenangkan hati dan meredam pacuan kuda yang tak seharusnya berada di jantungku.
Sya Tiba-tiba kamu memanggilku. Membuat aku nyaris terperajat karena kagetnya. Gimana Skripsi kamu? Lancar?
Angin yang tadinya sejuk seketika berubah menjadi badai kala aku mendengar pertanyaanmu. Skripsi? Apa itu skripsi? Rasanya aku ingin amnesia sesaat. Datangnya aku ke Semarang adalah untuk menghindari kata-kata itu. Menghindari hal itu. Tepatnya, untuk merenungkan kelalaianku yang tak dapat mengatur waktuku dan diriku dengan baik.  
Mungkin bisa dikatakan bahwa aku melarikan diri. Dua minggu ke depan sebagian teman seangkatanku akan mengenakan toga dan resmi menyandang gelar sarjana.
Sedangkan aku? Jangankan memakai toga, Penelitianku saja masih belum kelar. Aku terlalu sibuk dengan urusan organisasi kampus dan kewajibanku sebagai guru. Sampai-sampai penelitian untuk mengisi skripsiku saja belum rampung. Empat bulan terakhir ini aku memang sudah mengajar di sekolah menggantikan salah seorang guru yang cuti melahirkan, pada awalnya. Tapi karena masalah kesehatan buah hatinya guru itu memutuskan untuk berhenti mengajar agar fokus untuk membesarkan putranya.
Jadilah aku tetap menggantikan posisinya sebagai wali kelas sampai waktu yang tak ditentukan. Selain karena permintaan sekolah, ini adalah impianku. Menjadi seorang guru. Kesibukkan sebagai seorang guru dan wali kelas membuatku terbuai karena kenyamanannya belajar bersama anak-anak kelas 1 di  sebuah SMP Islam swasta di Jakarta. Sekolah ini adalah sekolah tempat aku melaksanakan  praktek kegiatan mengajar ketika semester 7 lalu.
Kegagalanku lulus dalam empat tahun bukan karena organisasi atau peranku sebagai guru, melainkan karena kelalaianku yang tak bisa mengatur waktuku dengan baik. Jadilah aku seperti ini hingga melarikan diri ke Semarang untuk setidaknya menetralkan pikiran dan perasaanku.
Mendadak aku menyadari sesuatu. Sesuatu yang membuatku kesulitan menelan salivaku sendiri, seakan kelat di tenggorokan. Aku tidak lulus tepat waktu artinya aku membuatmu menunggu lebih lama.
"Maaf Kak!"
Hanya dua kata itu yang berhasil lolos dari celah bibirku. Aku seperti tak berdaya untuk mengatakan hal lain selain kata maaf padamu saat itu.
"Maaf untuk apa?" Kamu menoleh padaku dengan heran yang begitu jelas pada wajahmu.
Ya Allah, ternyata kelalaianku dalam penyelesaian skripsi bukan hanya berimbas pada masa studiku yang bertambah tapi pada masa menunggumu juga. Masa menunggu kita.
Tawa renyah para remaja dan teriakan seorang bocah yang memanggil nama temannya terdengar begitu menyakitkan di telingaku. Duniaku serasa beku. Menundukkan kepada dan menatap sepasang flat shoes biru dongker usang adalah pilihanku. Aku tak sanggup untuk menampakkan wajah ini di hadapanmu Kak. Aku tak mampu menatapmu karena aku telah mengecewakanmu. Maaf!
"Maaf!" Lagi-lagi kata itu yang terucap dengan suara parauku karena menahan isak. "Maaf karena aku nggak bisa lulus tepat waktu"
Luruh. Akhirnya terjatuh juga. Buliran hangat yang terasa dingin karena terpaan angin. Aku benar-benar tak menyangka, lagi-lagi aku menangis di depanmu. Rasanya aku adalah seorang perempuan yang tak tahu malu karena seenaknya menumpahkan air mata di hadapanmu, di tengah keramaian kota Semarang.
Dan lagi-lagi, kamu hanya diam. Sungguh, aku semakin tersedu karena keterdiamanmu. Aku takut jika kamu benar-benar kecewa padaku karena aku tak bisa menepati janjiku untuk lulus dalam empat tahun, yang artinya kamu harus menungguku lebih lama lagi.
"Sya, nggak pa-pa kok.  Kamu udah berusaha dengan baik. Mungkin kamu emang nggak lulus tepat waktu, tapi  Allah pasti udah menyediakan waktu yang tepat untuk kelulusanmu"
Akhirnya aku mendengarmu bersuara. Suara renyahmu terdengar santai seolah kamu baik-baik saja. Atau mungkin kamu memang baik-baik saja. Karena akulah yang tidak baik-baik saja.
"Kalo kamu nangis karena aku, sungguh, aku nggak pa-pa Sya. Insya Allah aku akan tunggu sampai waktu yang tepat  itu tiba"
Semua perkataanmu selalu membuatku mengagumimu sekaligus malu padamu. Ketulusanmu, kesabaranmu serta keikhlasanmu. Aku sungguh malu padamu Kak. Empat tahunmu tampaknya benar-benar membuahkan hasil. Sedangkan empat tahunku? masih banyak hal yang perlu aku perbaiki. Mungkin karena aku belum mencapai kata pantas makanya Allah menunda kelulusanku, yang secara tidak langsung juga menunda harapanku untuk menjadi seseorang bagimu.

Sunday 25 December 2016

Aku (Tak) Kecewa: 1. Di Batas Senja





        Siang mulai beranjak hingga sang petang menggantikan posisinya. Aku menundukan kepala sejenak untuk melihat arloji yang melingkar di pergelang tangan. 17:45 adalah angka yang muncul ketika aku lekat menatapnya. Detik kemudian pandanganku teralihkan pada hamparan jingga di langit barat Jakarta. Ah, Senja ini langit ibukota tampak begitu indah. Senja yang menjingga. Amat jingga. Lelahku setelah seharian beraktivitas terasa meluap begitu saja kala menyaksikan ciptaan Allah Yang Maha Indah. 
         Seakan tak ingin menyiakannya begitu saja, aku langsung menangkap potretnya melalui kamera ponsel yang tidak seberaba tinggi pixelnya itu. Meski begitu, ia tetap mampu untuk mengabadikan sebuah keindahan nyata yang tak selalu dapat terlihat. Di sini, di ketinggian sekitar 5-7 meter aku menghentikan langkah untuk sejenak menikmati indah yang begitu memanjakan mata.
Keindahan senja ini membuatku kembali mengingatmu. Ingatkah, kita mengakhiri dan memulainya di batas senja lima tahun yang lalu. Saat itu kamu baru saja pulang dari Bandung dan memintaku untuk menemuimu di tempat biasa kita bertemu. Sebuah danau di pinggiran timur Jakarta. Andai kamu tahu betapa bahagianya aku ketika sebuah pesan sampai di ponselku.
Sya, aku lagi di Jakarta. Bisa ketemu sore ini di danau?
        Aku bahkan masih mengingat setiap kata darimu yang kubaca dengan bunga-bunga yang bermekaran di taman hatiku. Bagaimana tidak, ini adalah pertemuan pertama kita sejak kamu kuliah di Bandung. Pesan itu sampai di ponselku sekitar jam dua siang dan saat itu juga aku langsung kelabakan mencari baju yang kiranya cocok aku kenakan untuk bertemu denganmu. Mengingat hal itu, membuat aku malu sendiri. Ternyata aku benar-benar remaja yang jatuh cinta.
        Celana jeans panjang, dengan kaos merah muda berbalut cardigan ungu menjadi pilihanku. Rambut sebahuku aku biarkan terurai dengan sebuah bando hitam kecil yang melingkari bagian depan rambutku. Dengan senyuman yang tak habis-habisnya aku sunggingkan, aku mengayuh sepeda menuju danau. Di sana, aku melihatmu. Tengah terduduk di atas rerumputan dan memandang bias cahaya yang tampak di permukaan air danau. Aku masih mengingat jelas bahwa itu adalah kegiatan favoritmu.
        Masih dengan senyuman yang sama, aku menghampirimu. Aku bahkan belum sempat  memanggil namamu ketika kamu sudah menoleh lebih dulu. Membuat hatiku tiba-tiba berdesir kala senyuman hangatmu tertangkap indera penglihatanku.
        Kamu langsung berdiri menyambutku. Nisya suaramu terdengar memanggil namaku, dan masih dengan senyuman ramah khas milikmu. Senyuman yang selalu aku rindukan selama satu tahun terakhir. Setahun tak bertemu ternyata kamu masih sama. Hanya saja aku merasa bahwa tinggi badanmu sedikit bertambah. Entah hanya perasaanku saja atau memang benar adanya.
        Hai, Kak! Udah dari tadi ya? tanyaku yang langsung menghampirimu. Berdiri tepat dua langkah di hadapanmu. Menatapmu dengan senyuman yang sejak tadi tak mau pergi dari wajahku.
        Enggak kok. Baru nyampe sekitar lima menit yang lalu jawabmu lalu mengajakku duduk di atas rerumputan hijau di tepi danau. Aku pun tanpa diminta dua kali langsung duduk di sampingmu. Andai kamu tahu, saat itu adalah saat dimana aku ingin berteriak dan memelukmu untuk meluapkan segala kerinduan yang tertahan selama satu tahun tak bertemu. Namun, kamu jelas tahu aku. Aku bukanlah perempuan agresif yang akan melakukan hal itu padamu. Aku terlalu malu untuk itu. Terlebih aku pun tahu bahwa kamu bukanlah lelaki yang selalu menunjukkan perasaanmu.
        Kamu apa kabar, Sya? Setahun nggak ketemu kayaknya kamu tambah dewasa ya
        Dewasa? Aku terkekeh kecil. Entah bagian mana dari diriku yang menunjukkan aku tampak lebih dewasa seperti perkataanmu. Aku baik. Kakak gimana? Setahun di Bandung kayaknya betah banget ya sampe nggak pulang-pulang. Balasku padamuyang sebenarnya tersirat ungkapan yang mengharapkan kepulanganmu sejak lama.
        Tanpa menoleh ke arahku, kamu tersenyum. Iya, Bandung ternyata nyaman banget Sya. Nggak nyesel deh aku kuliah di sana
        Aku yang melihatmu begitu antusias saat berkata hanya bisa menganggukkan kepala dan tersenyum simpul. Sebenarnya banyak kata yang ingin aku ungkapkan padamu setelah satu tahun tak bertemu, namun entah mengapa rasanya aku tak mampu mengungkapkannya. Dengan memandangmu saja sudah cukup bagiku.
        Sya, gimana ujian nasional kamu?
        Aku menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaanmu. Alhamdulillah. Semua udah kelar. Semoga aja hasilnya nggak mengecewakan ya Kak
        Semoga ya, Sya. Aku tahu banget gimana giatnya kamu kalo belajar. Insya Allah sesuai harapan lah hasilnya Kamu kini menoleh padaku sekilas. Oiya, udah tentuin mau kuliah dimana? wajahmu tampak begitu serius meski dengan senyuman hangatmu.
        Aku mengangguk, lalu meluruskan kedua kakiku. Aku pilih UNJ sama UNNES buat jalur undangan. Jurusannya Pendidikan Matematika. Pengumumannya minggu depan Kak. Doain ya  
        Wih matematika. Nggak coba di UPI?
        Pengen sih, tapi nggak boleh sama Ibu. Katanya aku cuma boleh kuliah di Jakarta atau di Semarang jadi bisa tinggal sama eyang. Padahal awalnya aku mau pilih UPI
Kamu menganggukkan kepala sambil memandangi bias cahaya senja. "Kuliah mah di mana aja Sya. Yang penting ilmunya. Menuruti keinginan Ibu insya Allah berkah. Aku selalu berharap yang terbaik untuk kamu Fanisya".
 Perkataanmu terdengar begitu berwibawa Kak, tampaknya perubahan statusmu dari siswa menjadi mahasiswa benar-benar telah merubah pola pikir dan sikapmu. Dan aku merasa semakin menyukaimu karena itu. Aku menatapmu dalam diam. Hanya anggukan kepala dua kali yang menjadi jawabanku atas perkataan bijakmu.
"Hmm. ... Sya?" ucapmu yang tiba-tiba menoleh padaku. Membuat dua pasang mata kita saling beradu untuk beberap jenak. Aku bahkan sempat merasakan sentakan hebat dari balik dadaku kala bola mata cokelatmu mengunci pandanganku.
"I-iya Kak?" Sahutku ragu-ragu.
Kemudian kamu tersenyum kecil yang aku yakini karena kamu menangkap kegugupan dari jawabanku. Tatapan mata kita kini terlepas. Aku memilih menunduk karena begitu malu menunjukkan kegugupanku di hadapanmu, sementara kamu lebih memilih menikmati hamparan air danau yang beriak karena terpaan angin. Kita sama-sama terdiam untuk beberapa saat. Sampai akhir aku mendengarmu berucap.
"Sya, setelah lulus kuliah nanti kamu mau jadi guru ya berarti?" Katamu yang masih memandang lurus-lurus ke arah danau. Aku pun mengangkat kepalaku dan mengikuti arah pandangmu. kita duduk bersebelahan dengan arah pandang yang sama.
"Insya Allah Kak. Aku mau jadi guru matematika" jawabku yang masih menikmati pemandangan senja bersamamu.
"Amin" Kamu mengamini impianku yang seketika membuat hatiku menghangat. "Setelah itu?" tanyamu kemudian.
Membuat aku mengernyitkan dahi karena tak mengerti maksud pertanyaanmu. Bersamaan dengan itu kepalaku sudah berhasil menoleh ke kirike arahmu.
"Setelah itu?" Aku membeo atas perkataanmu yang sungguh tak dapat aku pahami. Dan Lagi-lagi aku melihatmu tersenyum kecil karena reaksiku. Apa kamu begitu terhibur melihat wajahku yang menampakkan ekspresi aneh begitu?
"Iya, setelah kamu jadi guru kamu mau ngapain lagi?"
"Entah, belum kepikiran"
"Menikah?"
"Hah? Nikah?"
"Kenapa, kok kaget begitu?"
"Aku belum mikir sampe kesitu kak, sekarang aja aku belum tau lulus apa enggak, kuliah dimana juga belum ketahuan. Apa lagi tentang menikah. Benar-benar belum kepikiran. Aku masih 17 tahun Kak"
"Tapi aku udah kepikiran Sya" katamu dengan begitu santainya. Jujur, aku tak mengerti kemana arah pembicaraan kita sebenarnya.
"Aku seorang laki-laki yang kelak akan bertanggung jawab atas seorang perempuan. Dan aku berharap perempuan itu adalah kamu Fanisya Anindita"
Seketika dunia terasa berhenti. Hempasaan angin dan kicauan burung yang sejak tadi menjadi nyanyian senja pun mendadak sunyi. Yang terdengar hanyalah debaran jantungku yang tiba-tiba menggila. Apa aku sedang bermimpi?
"Sya" suaramu yang memanggil penggalan namaku membuat aku tersadar dari kebergeminganku.
"Fitrah seorang laki-laki adalah menjaga perempuannya. Aku ingin menjadi orang yang menjagamu Nisya. Tapi nanti, ketika kita telah mengikat diri pada sebuah janji yang menjadikan kita halal" Kamu berhenti berkata lalu menoleh lagi padaku. 

Perkataanmu sunggu membuat aku membeku. Pasalnya aku tak tahu harus merespon perkataanmu dengan kata apa. Kamu yang masih memandang keterpakuanku tiba-tiba menyimpulkan senyuman hangat khas dirimu. 
"Kak, inti pembicaraan kita sebenarnya apa ya? Aku nggak ngerti"
Aku memang begitu tersanjung atas perkataanmu kak. Perempuan mana pun pasti akan luluh hatinya karena perkataan indahmu itu. Namun aku tetaplah seorang remaja yang baru berusia 17 tahun. Aku tidak tahu pasti maksud perkataanmu.
Aku sempat mendengar kamu menarik napas panjang dan menghelanya perlahan sebelum akhirnya kamu bersuara untuk menjawab rasa penasaranku. "Sya, maafin aku. Aku rasa kita harus mengakhiri hubungan kita"
Kebingunganku akan perkataanmu tiba-tiba menghasilkan sentilan kecil pada hatiku.
"Maksud kakak? Putus?". Sahutku bertanya dengan suara yang sedikit meninggi. Bagaimana bisa kamu mengatakan hal itu setelah sebelumnya kamu melambungkanku tinggi-tinggi.
Kamu menganggukkan kepala tanpa menatapku. "Aku rasa itu yang terbaik buat kita Sya. aku nggak mau membawa kamu ke dalam dosa karena ikatan yang nggak seharusnya ini"
"Dosa gimana sih kak? Selama ini kita kan nggak pernah bersentuhan, jangankan pelukan, pegang tangan aku aja kakak nggak pernah kan?"
"Sya, dosa atau enggaknya emang Allah yang menentukan. Tapi kita punya kewajiban untuk mencegahnya. Dalam Al-Quran aja dikatakan jangan dekati zina. Mendekati aja udah nggak boleh Sya. Artinya kita harus mencegahnya dengan memutuskan hubungan kita"
"Kakak tuh sebenarnya kuliah jurusan elektro apa jurusan agama sih? Kok jadi ceramahin aku begini?" Aku sudah benar-benar tersulut emosi. Pasalnya kamu berubah drastis. Kamu yang dulu terasa begitu hangat dengan setiap candaanmu kini menjadi seorang yang begitu banyak bicara tentang agama. Apa orang-orang yang memasuki dunia kuliah akan berubah seperti ini? pikirku kala itu.
Aku melihat wajahmu semakin serius. "Sya, tolong" pintamu dengan nada bicara yang penuh penekanan. "Aku begini untuk kita ke depannya. Aku ingin memperbaiki diriku agar pantas menjadi laki-laki yang akan bertanggung jawab atas dirimu Sya. Aku mau kita sama-sama memperbaiki diri"
Terpaan angin senja kembali terasa dan membuat kesenduanku semakin menjadi. Aku tak lagi sanggup menahannya. Buliran bening itu akhirnya mengalir membentuk sebuah garis yang melewati pipi gembilku. Aku menangis karena perkataanmu yang terdengar begitu menyakitkan namun juga begitu menyentuh hatiku. Perasaan sakit karena diputuskan oleh lelaki baik sepertimu rasanya kalah dibandingkan perasaan haruku karena mendengar perkataan tulusnya yang terdengar begitu syahdu.

"Sya maafin aku"
Malihat aku yang mulai tersedu kamu hanya bisa memandangku dengan ekspresi yang juga sendu, tanpa berani mengambil tindakan untuk mendiamkanku dengan sentuhanmu. Aku tahu benar kamu selalu begitu.
"Jika menangis bisa bikin kamu lebih tenang, nangis aja Sya. Aku disini untuk bertanggung jawab atas tangisanmu"
Mendengar dua kalimat yang kamu lontarkan itu membuat aku semakin terisak dalam tangis. Teriakan burung-burung kecil di sekeliling danau seakan ikut terhanyut dengan perasaanku.
"Sya, aku mau kita memulai semuanya dari awal dengan sama-sama memperbaiki dan memantaskan diri untuk mendapatkan cinta yang sejati. Cinta pada Sang Maha Pemilik Hati, Sya." Katamu saat aku masih menangis tersedu. "Jodoh adalah takdir yang udah ditentukan, Sya. Kita hanya perlu berikhtiar untuk mendapatkan hak kita. Kata Al-Quran perempuan yang baik hanya untuk lelaki yang baik. Begitu juga sebaliknya. Itu adalah alasan kenapa aku mau kuta sama-sama memperbaiki diri. Aku berharap kamu bisa ngerti harapan aku, Sya" tuturmu lagi.
Dalam tangisku aku masih bisa mendengar setiap kata yang kamu ucapkan dengan sangat jelas. Masuk melalui indera pendengaranku hingga terasa menggetarkan relung hatiku. Untuk beberapa menit kita sama-sama terdiam. Aku yang diam karena merasakan dan memikirkan perkataanmu dan kamu yang terdiam tanpa aku ketahui alasan atas keterdiamanmu.
Perlahan hatiku menyetujui setiap perkataanmu lalu aku mencoba meyakinkan pikiranku  bahwa apa yang kamu ucapkan adalah benar. Mungkin memang ini yang terbaik untuk kita. Melepaskan untuk saling mendekatkan. Dekat pada Sang Pemilik Hati dan memasrahkan semua pada ketentuannya.
Allahuakbar Allahuakbar …”
Gema adzan maghrib membuat aku mengakhiri ingatanku atas kenangan kita di batas senja lima tahun yang lalu. Aku bahkan tak sadar bahwa aku telah meneteskan sebuah bulir bening kala mengingat saat-saat itu. Langit yang tadi masih cerah kini telah menggelap. Namun jingga masih tampak di ufuk barat kota. Jingga yang begitu indah. Barisan lampu kendaraan bersama dengan deru mesinnya menjadi pemandangan dan alunan merdu kala peralihan senja menjadi malam. Aku menaruh kembali ponsel yang tadi kupakai untuk memotret keindahan senja ibukota ke dalam ransel. Kemudian bergegas menuruni jembatan penyebrangan dari halte busway Cikoko menuju Stasiun Cawang untuk melaksanakan sholat Maghrib dan selanjutnya melanjutkan perjalanan dengan kereta ke arah Depok.
Kenangan, andai dulu kamu tak berani memutuskanku. Mungkin aku takkan menjadi Fanisya Anindita seperti saat ini. Terimakasih atas keberanianmu Kak Satya Eka Mardiansyah.

Saturday 24 December 2016

Aku (Tak) Kecewa: Prolog




Aku membuat keputusan bukan tanpa pertimbangan. Sudah tentu lebih dari hitungan jari aku bertanya pada hati. Sampai akhirnya keputusan inilah yang bulat aku pilih. Memilih untuk menunggumu disaat kamu juga  menungguku. Aku yang menunggumu hingga kamu siap dan kamu yang menungguku sampai aku menyelesaikan studi sesuai dengan permintaan kedua orang tuaku. 
Pernah kita sama-sama bercerita tentang rencana masa depan berdua. Jika kamu ingat, itu adalah kali terakhir kita bertemu  sebagai sepasang kekasih. Ah, aku benar-benar menyesalinya. Mengapa kita harus membuat ikatan yang tak pasti seperti itu, dulu? Mengapa tak sejak awal kita sadar diri bahwa hal itu adalah salah?
Kenangan dulu biarlah menjadi pengingat bagiku pun bagimu. Pengingat untuk terus memperbaiki diri dan memantaskan diri hingga kita mencapai kata pantas. Setidaknya 75% harus kita capai selagi kita menunggu. Aku meyakinimu seperti aku meyakini bahwa aku akan menaiki TransJakarta setiap pagi. Tidak sepenuhnya pasti. Karena bagiku, kepastian seutuhnya adalah kuasa Allah. Jadilah keyakinanku menunggumu adalah seyakin itu aku padamu. 
  
-Fanisya Anindita, Mahasiswa Pendidikan Matematika semester akhir-