Sunday 2 October 2016

Repetisi Rindu (?)

Repetisi
Kata itu aku temukan dalam novel yang aku nikmati pagi tadi.

Repetisi
Kata yang membuat cuplikan-cuplikan kejadian muncul dan berputar-putar di kepalaku. Kejadian yang berkaitan dengan kata repetisi: Pelajaran Bahasa Indonesia mengenai majas yang entah kelas berapa saat di SMA.

Majas Repetisi
Itu yang muncul di pikiranku beberapa detik setelah membacanya. Seingatku majas repetisi adalah majas pengulangan. Jenis pengulangan seperti apa? itu yang aku lupa. Sampai akhirnya aku membuka kembali buku catatan Bahasa Indonesia ketika SMA dulu. Butuh waktu cukup lama untuk  aku bisa menemukannya. Setelah aku membuka buku catatan yang sudah berdebu itu, apa lantas aku mendapatkan pengertian majas repetisi di buku itu? Ah, sayangnya tidak! Karena aku lupa pelajaran tentang majas itu ada di kelas berapa sedangkan aku hanya menemukan satu buku kelas tiga. Lupa, lagi-lagi aku lupa. Dasar pelupa!

Fiyuh, seperti tak ada guna aku mengacak-acak tumpukan buku selama beberapa menit tadi. Jadilah aku mencarinya di tempat lain yang aku yakini bisa mendapatkan pengertiannya disana. Dimana lagi kalau bukan di Google. Teman yang serba tau! Dari situ aku mendapatkan penjelasan bahwa: majas repetisi merupakan bagian dari majas penegasan. Repetisi artinya pengulangan kata, frasa dan klausa yang sama dalam satu kalimat.

Ya, pengulangan. Seperti aku yang lelah, bahkan sangat lelah karena  mencari buku catatan Bahasa Indonesia milikku. Setelah itu, aku tidak menaruhnya kembali dalam tumpukkan buku-buku lama, tapi aku taruh di atas nekas di samping tempat tidur. Baru saja aku akan beranjak untuk mengambil novel yang memunculkan kata repetisi. Tapi, aku tiba-tiba bergeming. Menatap buku bersampul kuning yang baru saja aku letakkan di nekas. Entah mengapa, otakku seperti menginstruksikan tangan kananku untuk mengambil buku itu kembali, lalu duduk di tepi tempat tidur.

Perlahan-lahan, pelan dan pelan potongan-potongan kenangan itu berputar di kepala. Menampilkan kejadian demi kejadian yang menghiasi masa SMA-ku dulu. Masa dimana aku punya banyak cerita dengan berbagai warna. Satu per satu wajah-wajah bermuculan. Tersenyum, tertawa, marah, meringis sampai menangis.

Detik demi detik berlalu, menit demi menit terlewat, menghanyutkan aku dalam kenangan beberapa tahun silam. Menyelaminya pelan dan pelan, dalam dan semakin dalam. Sampai sebuah senyuman tanpa sadar telah tersungging sempurna di wajahku.

Bagaimana jika aku megatakan bahwa aku rindu?



Rindu
Entah untuk apa atau siapa rindu ini menyapa. Tapi, detik semakin mencubit, menggigit bahkan menghimpitku untuk akhirnya mengakui kerinduan ini. Rindu yang tak aku tau untuk apa atau siapa. Bagiku, untuk apa atau siapa rindu ini hadir, bukanlah soal. Yang pasti, aku meyakini bahwa ini adalah sebuah rindu.

Mungkin
Mungkin, rindu tentang cerita yang membuatku tertawa. Mungkin, rindu tentang kisah yang membuatku merasa ada. Mungkin, rindu tentang belajar caranya menghargai dan mengasihi. Mungkin rindu tentang caranya memberi dan menerima. Dan mungkin rindu tentang caranya mencintai dan dicintai.

Cinta
Kata yang sudah  lama bahkan sangat lama tak ku sentuh. Mengucapkannya saja aku takut. Dulu, ketika masih putih abu-abu, aku benar-benar baru mengerti tentang cara mencintai. Mencintai orang-orang yang selalu peduli padaku, orang-orang yang selalu bertanya 'kenapa' saat melihat ekspresi wajahku yang berubah sendu, juga orang-orang yang bertanya 'kenapa' saat melihat ekspresi wajahku yang berseri-seri. Cinta untuk teman-teman yang selalu membuatku percaya diri.

Juga tentang mencintai pelajaran yang bahkan aku benci. Banyak orang yang bilang kalau benci itu beda tipis dengan cinta. Tapi aku punya asumsi lain, menurutku benci itu bisa menjadi awal atas cinta. Seperti aku yang membenci pelajaran Bahasa Indonesia sejak sekolah dasar. Alasannya karena aku tidak suka mengarang dan bercerita di depan kelas. Kekanakan memang, namanya juga anak-anak.  Entah mengapa dan bagaimana ketika memasuki SMA, perlahan-lahan dan berangsur-angsur aku malah menyukai pelajaran itu. Aku bahkan mencintai pelajaran itu. Aku rindu saat menampilkan sebuah drama di aula lantai tiga, aku berpakaian serba merah dengan tanduk yang juga berwarna merah. Memerankan sosok iblis yang menghasut manusia. Meskipun aku (saat ini) menyadarai bahwa  wajahku tak cocok  memerankan sosok iblis. Membuat aku terkekeh geli karena karena mengingatnya. Aku seperti orang gila yang cengar-cengir sendiri saat ini. 

Ternyata aku memang rindu saat-saat itu. Dalam hitungan menit, perlahan dan pelan rindu ini semakin menumpuk. Membuncah bahkan mau pecah. Ku ingat lagi kenangan demi kenangan yang membuatku tertawa-tawa sendiri. Sejujurnya, ini bukanlah kali pertama aku merasakan rindu yang sama seperti ini. Entah beberapa bulan lalu, aku juga kedatangan tamu rindu yang tiba-tiba saja datang. Menyapa dan menyapa, lagi dan lagi membuat aku harus mengingat masa-masa yang takkan pernah terulang kembali.

Salahkan bila ia datang lagi? Kerinduan  yang lagi dan lagi menyapaku? Apakah ini yang namanya repetisi rindu? Ah, apa rindu bisa berepetisi? Entahlah! Yang jelas aku memang rindu!

Dalam tulisan ini, aku bahkan tidak menghitung sudah berapa kali aku manuliskan kata entah dan entahlah. Aku yang cenderung tak peduli memang selalu memilih kata itu untuk menutupi ketidakpedulianku. Tapi, kenangan-kenangan manis itu, kembali mengingatkanku agar aku membuka mata dan hati untuk lebih peduli. Seperti kalian yang peduli padaku kapanpun itu. 

Sampai saat aku menuliskan ini. Potongan-potongan kenangan itu terus berputar dan memberikan tontonan menarik untuk diriku sendiri. Aku akan menyimpan repetisi rindu ini untuk perenungan diri. Aku tak tau apakah satu dari kalian merasakan repetisi rindu yang sama denganku? bahkan mungkin tidak? Untuk itu biarlah aku yang menyimpannya, repetisi rindu yang akan datang kembali, dan akan aku simpan kembali jika memang ia datang lagi.


Aku yang berepetisi tentang rindu