Beberapa
malam lalu ada kejadian yang cukup membuatku tercengang. Bengong, tepatnya. Kronologisnya
begini, aku sedang bersantai, iseng dan tak berkegiatan. Aku berbaring sambil meniup
sebuah pelastik “tomat” yang niatnya akan ku pukul agar meledak. “Buggggg!!!”
ya, pelastik itu meledak sempurna, tapi bukan aku yang memukulnya, melainkan
adikku yang terkecil. Dia hanya tersenyum dengan cengiran khasnya setelah
berhasil meledakkan pelastikku. Aku terdiam, menatapnya untuk beberapa detik.
“Kenapa dipukul?” tanyaku. “kan supaya meledak” jawabnya. “tapi aku kan mau
meledakkin sendiri” sambungku dengan nada datar. Mimik wajahnya yang tadi
sumringah tiba-tiba berubah. Lalu aku memalingkan wajah darinya dan tenggelam
di balik guling lusuhku.
Aku
pikir dia akan marah melihat responku yang terdiam. Anak laki-laki yang belum
genap berusia enam tahun itu ikut terdiam sejenak, namun beberapa detik
kemudian aku mendengar langkah kaki kecilnya berlari menuju dapur, terdengar
suara gesekan pelastik saling beradu. Aku masih menenggelamkan wajahku dan
menerka-nerka apa yang ia lakukan. Tak lama langkah itu kembali dan jari
mungilnya menyentuh punggungku. Aku segera menoleh ke arahnya. “ini nih”
ucapnya dengan wajah tersenyum sambil menyodorkan pelastik bekas yang lecek, ukurannya
lebih besar dari pelastikku tadi. “Tiup lagi terus peledakin deh” sambungnya,
aku hanya bisa terdiam, sempat berpikir keras, awalnya ku pikir dia hanya akan
terdiam melihatku terdiam atau bahkan marah. Ternyata aku salah. Ia mampu membaca mimik wajahku
yang tak suka, ia merasa bersalah dan bertanggung jawab atas kesalahannya. Duh, adikku pandai sekali.
Saat itu juga aku tersadar, tanggung jawabku atasnya
sangatlah besar. Ia memiliki pribadi yang baik dan pandai. Tinggal bagaimana
aku bisa menuntunnya dan menjaga agar pribadinya tetap baik. Ya Allah,
Jadikanlah ia anak yang sholeh, yang taat di jalan-Mu dan menghormati orang tua.
Kuatkan dan mampukan aku untuk menjadi kakak yang baik untuknya.