Sunday 31 January 2016

Adik kecilku : Tanggung Jawabku



Beberapa malam lalu ada kejadian yang cukup membuatku tercengang. Bengong, tepatnya. Kronologisnya begini, aku sedang bersantai, iseng dan tak berkegiatan. Aku berbaring sambil meniup sebuah pelastik “tomat” yang niatnya akan ku pukul agar meledak. “Buggggg!!!” ya, pelastik itu meledak sempurna, tapi bukan aku yang memukulnya, melainkan adikku yang terkecil. Dia hanya tersenyum dengan cengiran khasnya setelah berhasil meledakkan pelastikku. Aku terdiam, menatapnya untuk beberapa detik. “Kenapa dipukul?” tanyaku. “kan supaya meledak” jawabnya. “tapi aku kan mau meledakkin sendiri” sambungku dengan nada datar. Mimik wajahnya yang tadi sumringah tiba-tiba berubah. Lalu aku memalingkan wajah darinya dan tenggelam di balik guling lusuhku.

Aku pikir dia akan marah melihat responku yang terdiam. Anak laki-laki yang belum genap berusia enam tahun itu ikut terdiam sejenak, namun beberapa detik kemudian aku mendengar langkah kaki kecilnya berlari menuju dapur, terdengar suara gesekan pelastik saling beradu. Aku masih menenggelamkan wajahku dan menerka-nerka apa yang ia lakukan. Tak lama langkah itu kembali dan jari mungilnya menyentuh punggungku. Aku segera menoleh ke arahnya. “ini nih” ucapnya dengan wajah tersenyum sambil menyodorkan pelastik bekas yang lecek, ukurannya lebih besar dari pelastikku tadi. “Tiup lagi terus peledakin deh” sambungnya, aku hanya bisa terdiam, sempat berpikir keras, awalnya ku pikir dia hanya akan terdiam melihatku terdiam atau bahkan marah.  Ternyata aku salah. Ia mampu membaca mimik wajahku yang tak suka, ia merasa bersalah dan bertanggung jawab atas kesalahannya.  Duh, adikku pandai sekali. 

Saat itu juga aku tersadar, tanggung jawabku atasnya sangatlah besar. Ia memiliki pribadi yang baik dan pandai. Tinggal bagaimana aku bisa menuntunnya dan menjaga agar pribadinya tetap baik. Ya Allah, Jadikanlah ia anak yang sholeh, yang taat di jalan-Mu dan menghormati orang tua. Kuatkan dan mampukan aku untuk menjadi kakak yang baik untuknya.

Wednesday 6 January 2016

Mirisnya Rumah Keduaku Saat Ini




Sore tadi, di tengah ramainya langkah kaki kesana-kemari dan gemuruh percakapan disana-sini, kudapati air mata yang menetes melewati pipi kusam itu. Tak terasa, wajahku telah basah dibuatnya. Beberapa pasang mata menukik jelas ke arahku. Mungkin bertanya dalam hati, ada apa gerangan?. Akupun tak tau pasti mengapa pelipis mataku tak sanggup lagi membendungnya. Lempengan hitam dengan layar kurang lebih 10 cm sepertinya berandil besar dalam hal itu. Sebuah pesan tersiar dengan hebohnya tentang sebuah perjuangan yang dibungkam. Tentang sebuah kebenaran yang sepertinya tak boleh diungkapkan. Tentang keegoisan yang selalu mengekang, dan tentang ketakukan yang membuatnya terburu-buru mengambil tindakan.
Hatiku teriris, sakit membacanya. Alangkah mirisnya masalah rumah tangga ini. Ketika salah satu pihak keluarga tak boleh berpendapat, suara-suara penolakan ditolak balik, berujung pada dibukakannya pintu yang dulu telah ia bukakan untuk kami. Bila semua pergi meninggalkan rumah, lantas apa gunanya pemimpin keluarga duduk nyaman di kursi empuk itu? Hmm… Entahlah.