Monday 19 March 2018

Aku Harus Menepi

                                                             (Gambar oleh Google)
Tidak selamanya perahu yang berlayar akan sampai pada tujuan. Sama halnya dengan kita. Meskipun dayung telah ku kayuh kuat-kuat, ternyata angin yang menerjangku jauh lebih kuat. Membuat aku terhuyung dan berputar arah untuk kembali. Menjauhi kamu yang berada di titik awal tujuanku. Aku menyerah.

Menyerahku adalah pasrah.
Aku bukan kalah sebelum berjuang. Karena setidaknya aku sudah pernah merasakan sulitnya memperjuangkan jalan perahuku menujumu. Aku menyerah tepat di tengah-tengah jarak yang memisahkan kita. Jarak yang kini membuat aku sadar diri. Kamu terlalu jauh. Terlalu sulit untuk aku gapai.

Kini aku memahami bahwa aku begitu kerdil untuk bisa mencapai angkasamu. Kamu sungguh  jauh bagiku. Akhirnya aku memutuskan untuk menepi, kembali ke tempatku dan tak lagi mengharapkan dirimu.

Aku hanya membiarkan waktu berlalu, menikmati angin menghembuskan apa-apa yang seharusnya tak lagi singgah di dalam hati. Mengosongkannya meskipun ku tahu itu tak akan mudah terjadi. Kesakitan dan kepedihan adalah imbalan yang pantas untuk masing-masing kita yang akhirnya tak lagi mau saling memperjuangkan. Bukankah itu adalah pelajaran kesakitan yang bisa kita ambil agar tak lagi mengulanginya?

Perjuangan ternyata memang tak selalu memuaskan. Seperti perjuangan kita yang akhirnya berakhir tanpa hasil. Nihil. Kita telah menjadi masing-masing hati yang tak lagi mau saling memaknai. Kita adalah anai yang berjalan kesana kemari tanpa pernah tau jalan mana yang sebenarnya akan membawa kita untuk kembali.

Jakarta, Maret 2018
Dalam bingkai kayu tak bersuara