Tuesday 23 February 2016

Maafkan Aku, Sahabatku



Nampaknya aku sangat melankolik malam ini. Perasaan yang tertahan seminggu ini, akhirnya buncah juga. Lagi-lagi di hadapan kalian, sahabatku. Sampai ku dengar di balik punggunggku, salah satu dari kalian bertanya  “Nita kenapa lagi?” suara Alvyn itu. Wajar, memang, pertanyaan itu muncul. Karena ini sudah kesekian kalinya aku menangis di hadapan kalian, sahabatku. Aku memang bukan orang yang dapat menahan air mata terlalu lama di kelopak mata. Kan, sudah ku bilang tadi, “aku gak bisa menunggu lebih lama lagi”. Bukan karena aku malas menunggu, ataupun aku benci menunggu, bukan. Melainkan, karena aku sudah menduga bahwa sebentar lagi bendungan air mataku ini akan meluap. 

Ah, aku sudah tak kuat. Aku sudah bilang aku ingin pulang saja. Bukan karena tak ingin bersama dan bersua dengan kalian, bukan. Tapi karena aku tau, aku akan menangis. Aku tak mau menangis di hadapan kalian lagi, tadinya. Tapi, kalian yang mencegahku untuk pulang, memintaku untuk tetap menunggu. Hingga aku tak kuat. Salah satu dari kalian memegangiku ketika aku mulai melangkah pergi. Tak kuat, benar-benar tak kuat. Saat itu dinding aula Daksin seperti memintaku menghampirinya. Wajahku langsung menyentuhnya, dan terbenam di hadapannya. Bendungan air mata itu sudah benar-benar rapuh. Tumpahlah ia, mengalir sederas-derasnya. Fitri yang dari tadi memegangiku, kurasakan tangannya menggenggam pundakku dengan erat dan merangkulku. Ah, aku semakin tersedu dibuatnya. Lima menit sudah aku terpaku dibenamkan dinding aula Daksin itu. Perlahan ku dengar banyak langkah kaki yang menghampiri, untuk sekedar bertanya “kenapa?”. Saat itu pula, dua orang laki-laki menyanyi diiringi gitar tepat di belakangku. Alvyn dan Fauzi. Suara mereka cukup menenangkanku, meskipun ku tau mereka memepersiapkan lagu itu, sebetulnya, bukan untukku. 

Ketika itu juga seseorang yang sejak tadi merangkulku berkata “Fitri ada kok, gak kemana-mana. Kan Nita yang bilang Nita juga ada gak kemana-mana”. Perempuan tangguh ini tau saja perasaanku. “Maafin Fitri gak bisa memahami Nita” lanjutnya. Seketika tangisku semakin tersedu saja mendengar ucapannya itu. Aku baru tersadar, selama ini aku terlalu egois. Keegoisanku yang membuatku ingin selalu dipahami oleh kalian, keegoisanku yang membuatku selalu ingin dimanja oleh kalian, keegoisanku yang membuatku selalu ingin kalian ada untukku. Padahal, aku sendiri tidak bisa memberikan perhatian lebih pada kalian. Padahal, aku tidak bisa memberikan waktuku lebih untuk kalian. Padahal, aku tidak bisa memahami kalian. Aku egois, sungguh. Egois sekali aku ini. 

Tangisku semakin pecah saja. Satu persatu, kalian menghiburku. Kapus, Septi.  Mencoba meredamkan tangisku. Namun, aku tetap saja terpaku dalam tangis. Aku memang bukan orang yang mudah menghentikan tangis. Semakin ditanya, aku semakin kuat saja menangis. Pantas, saat kecil dulu aku dipanggil “si cengeng” oleh saudara-saudaraku. Ternyata julukkan itu memang tepat. 


Dengan keadaanku yang sudah begini, kalian masih memintaku untuk menunggu. Alih-alih akan ada sesuatu katanya. Digiringlah aku naik ke lantai tiga Daksin. Kapus yang duduk di sampingku, menyentuh telapak tanganku dan berkata “Nita tau gak, aku sedih kalo liat kamu nangis?” ungkapnya dengan suara lembut itu. Aku hanya terdiam dan menggelengkan kepala. “Nita tau gak, aku khawatir kalo liat kamu nangis?” lanjutnya. Aku tetap menggeleng. Aku tak tau, Kapus. Yang ku lihat dirimu selalu dalam keadaan bahagia, menghadapi berbagai masalah dengan celotehmu yang membuat semua menjadi ringan. Maaf, bila tak bisa membaca hatimu. Lagi-lagi, aku masih diminta untuk menunggu. Septi, perempuan riang itu mencoba menghiburku. “Nita nangis gara-gara aku kan?” ungkapnya sambil memandangku dengan cengiran khasnya. “iya nih, gara-gara septi” jawabku asal, yang mencoba menghentikan tangis. Tapi apa daya semakin ditanya, semakin berkata, semakin menjadilah tangisku. Aku terdiam sejenak. “aku udah gak kuat, aku pulang aja ya” kataku yang langsung berdiri. “Loh, Nita gak mau nunggu sebentar lagi?” Tanya Septi yang terlihat agak bingung. Aku menjulurkan tanganku padanya untuk bersalaman, saat itu juga air mata menetes kembali. “aku gak kuat, aku sayang kalian” ungkapku. Seketika, wajah ceria di hadapanku itu menjadi sendu, dan airmatanya menetes begitu saja. Aku telah menularkan tangis padanya. Maaf. Kami berpeluk erat untuk beberapa saat. “jangan nangis, biar aku aja yang nangis” kataku. Terlihat kan keegoisanku, lagi. Melarangnya menangis, padahal aku yang membuatnya menangis. Aku lepaskan pelukan itu dan melangkah pergi. “Assalamu’alaikum” ucapku, meninggalkannya yang tengah terpaku. 

Maafkan aku yang selalu merepotkan kalian, sahabatku. Mungkin tangisku ini membuat kalian bingung, mengapa tiba-tiba pecah begitu saja. Sebetulnya tangis ini adalah luapan perasaan dan pikiranku selama satu minggu kemarin. Ketika perkuliahan semester 104 ini baru saja dimulai, aku melihat kalian sudah bolak-balik kesana-kemari untuk melaksanakan amanah dan berbagai kebaikan. Sedang aku, hanya bisa melihat kalian yang sibuk. Karena, aku mencoba menghindar dari kesibukan itu. Minggu pertama semester ini aku rasakan sangat berbeda dengan semester-semester sebelumnya. Dulu, usai perkuliahan, pasti ada saja agenda yang menunggu, bersama kalian tentunya. Kini, aku bisa melenggang pulang tanpa melalaikan agenda-agenda seperti dulu. Dulu, aku selalu pulang usai sholat maghrib, ketika langit sudah gelap dan bintang-bintang mulai terlihat. Kini, matahari masih bersinar terang, usai sholat ashar aku sudah melenggang pulang. Di setiap perjalanan pulang itu, selama empat hari di minggu lalu, aku selalu teringat kalian. Pasti akan jarang kita berkumpul dan berdiskusi seperti sebelumnya. Apalagi ketika ku lihat matahari masih bersinar di ufuk barat langit Jakarta, dan aku sudah berada di dalam bis kota. Semakin terasa saja bedanya. 

Maafkan aku bila tadi aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku benar-benar tak kuat. Aku takut tangisku semakin menjadi saja. Maaf bila membuat kalian bingung dengan tingkahku. Bila kalian marah padaku, aku tak apa. Karena aku memang pantas dimarahi karena keegoisanku ini. Maafkan aku, sahabatku.   

Saturday 13 February 2016

Bila Kita Berjodoh



          Malam itu, aku menulusuri gelapnya kampus kala liburan. Angin bertiup sangat lembut nan mesra. Halaman yang biasanya ramai dengan mahasiswa teknik terlihat kosong, hening dan gelap. Bahkan lampu yang biasanya menyala pun tidak bersinar, mungkin karena tidak  ada yang menghidupkan saklarnya. Ya, iyalah ta… Malam itu aku berjalan berdampingan dengan seorang wanita yang ku kenal sangat lembut. Padahal biasanya aku seorang diri menikmati gelapnya kampus malam. 
 
Nilam namanya. Obrolah dua orang gadis malam itu tak jauh dari berbagai macam kesibukan kampus. “gimana persiapan SAC lam?” tanyaku. “ng, kemaren udah survey sih, masih cari-cari vila” jawabnya dengan nada khas miliknya. Nilam, memang terlihat diam. Namun, diamnya itu produktif. Setiap tugas yang diberikan padanya selalu ia selesaikan dengan baik. Kini, banyak amanah yang menghampiri dirinya. Ia sepertinya sangat terbuka dengan berbagai amanah, mencintai amanah dan totalitas dalam menjalankan amanahnya. Semoga ia selalu dikuatkan dalam segala kesibukannya, kuatkan pundaknya dan kokohkanlah hati juga raganya, ya Allah. Ia sempat bertanya mengapa aku tak ikut dalam kepanitiaan itu. Maaf lam, aku tidak bisa membantumu karena kesibukanku yang lain. Kini, sudah banyak partner yang mendampingimu dengan kesungguhan hati mereka. Sampai akhirnya kita sama-sama tertawa, ketika saling mengetahui bahwa kita mengikuti suatu projek yang sama, yaitu memperkenalkan jurusan kuliah pada adik-adik yang akan memasuki jenjang kuliah. “iya, Nilam iseng-iseng buka, ada nama Nita Anggraeni. Kirain Nilam kebetulan, eh terus ada nama Aini juga. Ternyata itu emang mereka, kata Nilam” jelasnya sambil tersenyum simpul, khas sekali miliknya. 

Cara bicaranya, pembawaannya, dan senyumnya itu khas sekali miliknya. Percakapan kami terhenti ketika bis besar P 98 A melaju di sampingku. Akupun terburu-buru dan bersalaman dengannya. Sekitar sepuluh langkah aku berlari dan hap, aku berhasil naik ke dalam bis. Malam itu, bis jemputanku tak seramai biasanya. Aku masih bisa memilih tempat ternyaman untuk menghabiskan waktu satu jam ke depan. Aku memilih barisan dengan tiga kursi yang mungkin sekitar baris ke lima dari sang pengemudi. Padahal biasanya aku selalu memilih kursi yang dua, entah kenapa malam ini aku ingin saja duduk di kursi tiga itu. Kelap-kelip, merah-putih-oren lampu kendaraan ibukota menjadi pemandangan indah malam itu. Jalan yang tak seramai biasanya seakan tahu bahwa aku ingin sekali cepat sampai di rumah. Di lampu merah pertama jalanan masih aman dengan volume kendaraan yang cukup stabil. Kecepatan kendaraan mungkin 20 km/jam. 

Sampai di lampu merah Utan Kayu aku melihat dua sosok yang tengah berlari dari kejauhan, tangannya melambai dan kaki itu tak henti berlari mengejar. Sosok yang ku kenal sepertinya, meskipun aku tak dapat melihatnya dengan jelas. Karena keadaan sekitar mereka yang gelap dan aku tidak memakai kaca mata saat itu. Ya, dua orang yang amat ku kenal. Melihat mereka berlari dan melambaikan tangan agar bis berhenti membuatku tersenyum dan entah mengapa aku merasa bahagia sekali melihatnya. Sang pengemudi menginjak rem secara perlahan hingga mobil terhenti. Akupun melihat ke belakang karena aku tahu mereka pasti naik lewat pintu belakang. Benar saja, raut wajah lelah setelah berlari itu terlihat sumringah. Aku lambaikan tanganku pada mereka. Bermaksud memberitahu mereka bahwa aku ada dalam bis ini. Mereka langsung berjalan menghampiriku dengan senyuman dan duduk di sampingku. “Jodoh ternyata” ucap salah satunya. “tuh kan, jodoh” kataku sumringah. Bagaimana tidak. Sekitar 20 menit yang lalu kami memang sedang bersama di masjid kampus, selesai melaksanakan sholat maghrib. Namun langkah kaki kami berbeda arah, mereka lewat jalan yang biasa mereka lalui yaitu lewat depan kampus. Sedangkan aku terbiasa lewat belakang kampus. Padahal kami searah. Hehe… “Bila kita berjodoh, pasti kita dipertemukan dalam sebuah bis” ucapku sambil tersenyum kala langkahku mulai berlawanan arah dengan mereka. “ah, padahal kita niatnya naik P 17 A” ucap salah satunya sambil terkekeh. Biarlah, mungkin ucapanku seperti gurauan semata. 

Nyatanya, duh.. kita berjodoh memang. Sebut saja mereka Fitri dan Septi. Sepasang sahabat yang sangat sibuk dengan amanahnya. Kami sempat terkekeh dengan ucapanku yang ternyata terbukti  langsung, ya… kita berjodoh :)

Selanjutnya, kesibukan kegiatan kampus lagi-lagi menjadi berbincangan favorit kami.  Mereka mulai sibuk megeluarkan ponselnya dari tas masing-masing. Fitri, seorang wanita tangguh yang selalu menguatkan itu mulai mempersiapkan segudang kegiatannya esok hari, mulai dari harus berangkat pagi untuk beres-beres sekretnya. Sampai cerita bagaimana harus menunggu kendaraan umum yang harus ia naiki (sebut saja Kowan). Septi, wanita yang kata orang agak kekanakan ini sibuk sekali dengan ponselnya, pengaduan teman-teman mahasiswa yang mengalami kesulitan bayaran ada di tangannya. Amanahnya membuat ia tidak tidur semalaman karena memikirkan keselamatan kuliah orang lain. Mulia sekali hatinya. Di mataku dia malah terlihat sangat dewasa. Mereka adalah orang-orang yang selalu totalitas dalam menjalankan amanahnya. Bersedia tidak libur meski sedang liburan. Ah, aku merasa iri pada mereka. Aku belum bisa totalitas dengan amanahku. Banyak hal yang membuatku berulang kali berpikir untuk mundur dari amanah. Namun, mereka-mereka inilah sosok yang selalu menguatkan dan menyakinkan aku bahwa aku bisa.

Ya Allah. Biarkanlah aku tetap berada di tengah-tengah mereka yang selalu menguatkanku. Biarkanlah aku melihat senyuman dari bibir mereka yang merekah. Biarkanlah aku menjadi setitik bagian dari kisah hidup mereka. Biarkanlah aku untuk mencintai mereka karena-Mu. Ya Allah. Berikanlah mereka kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakan segala amanahnya, berikanlah mereka keberkahan-Mu atas segala kebaikan  yang mereka lakukan, lindungilah mereka dengan kekuasaan-Mu,  dan jadikanlah mereka orang-orang hebat yang selalu bisa menghebatkan orang lain.