Nampaknya aku sangat melankolik malam ini.
Perasaan yang tertahan seminggu ini, akhirnya buncah juga. Lagi-lagi di hadapan
kalian, sahabatku. Sampai ku dengar di balik punggunggku, salah satu dari kalian
bertanya “Nita kenapa lagi?” suara Alvyn
itu. Wajar, memang, pertanyaan itu muncul. Karena ini sudah kesekian kalinya
aku menangis di hadapan kalian, sahabatku. Aku memang bukan orang yang dapat
menahan air mata terlalu lama di kelopak mata. Kan, sudah ku bilang tadi, “aku
gak bisa menunggu lebih lama lagi”. Bukan karena aku malas menunggu, ataupun
aku benci menunggu, bukan. Melainkan, karena aku sudah menduga bahwa sebentar
lagi bendungan air mataku ini akan meluap.
Ah, aku sudah tak kuat. Aku sudah bilang aku ingin pulang saja.
Bukan karena tak ingin bersama dan bersua dengan kalian, bukan. Tapi karena aku
tau, aku akan menangis. Aku tak mau menangis di hadapan kalian lagi, tadinya.
Tapi, kalian yang mencegahku untuk pulang, memintaku untuk tetap menunggu.
Hingga aku tak kuat. Salah satu dari kalian memegangiku ketika aku mulai
melangkah pergi. Tak kuat, benar-benar tak kuat. Saat itu dinding aula Daksin
seperti memintaku menghampirinya. Wajahku langsung menyentuhnya, dan terbenam
di hadapannya. Bendungan air mata itu sudah benar-benar rapuh. Tumpahlah ia,
mengalir sederas-derasnya. Fitri yang dari tadi memegangiku, kurasakan
tangannya menggenggam pundakku dengan erat dan merangkulku. Ah, aku semakin
tersedu dibuatnya. Lima menit sudah aku terpaku dibenamkan dinding aula Daksin
itu. Perlahan ku dengar banyak langkah kaki yang menghampiri, untuk sekedar
bertanya “kenapa?”. Saat itu pula, dua orang laki-laki menyanyi diiringi gitar
tepat di belakangku. Alvyn dan Fauzi. Suara mereka cukup menenangkanku,
meskipun ku tau mereka memepersiapkan lagu itu, sebetulnya, bukan untukku.
Ketika itu juga seseorang yang sejak tadi
merangkulku berkata “Fitri ada kok, gak kemana-mana. Kan Nita yang bilang Nita
juga ada gak kemana-mana”. Perempuan tangguh ini tau saja perasaanku. “Maafin
Fitri gak bisa memahami Nita” lanjutnya. Seketika tangisku semakin tersedu saja
mendengar ucapannya itu. Aku baru tersadar, selama ini aku terlalu egois.
Keegoisanku yang membuatku ingin selalu dipahami oleh kalian, keegoisanku yang
membuatku selalu ingin dimanja oleh kalian, keegoisanku yang membuatku selalu
ingin kalian ada untukku. Padahal, aku sendiri tidak bisa memberikan perhatian
lebih pada kalian. Padahal, aku tidak bisa memberikan waktuku lebih untuk
kalian. Padahal, aku tidak bisa memahami kalian. Aku egois, sungguh. Egois
sekali aku ini.
Tangisku semakin pecah saja. Satu persatu,
kalian menghiburku. Kapus, Septi. Mencoba meredamkan tangisku. Namun, aku tetap
saja terpaku dalam tangis. Aku memang bukan orang yang mudah menghentikan
tangis. Semakin ditanya, aku semakin kuat saja menangis. Pantas, saat kecil
dulu aku dipanggil “si cengeng” oleh saudara-saudaraku. Ternyata julukkan itu
memang tepat.
Dengan keadaanku yang sudah begini, kalian
masih memintaku untuk menunggu. Alih-alih akan ada sesuatu katanya. Digiringlah
aku naik ke lantai tiga Daksin. Kapus yang duduk di sampingku, menyentuh
telapak tanganku dan berkata “Nita tau gak, aku sedih kalo liat kamu nangis?”
ungkapnya dengan suara lembut itu. Aku hanya terdiam dan menggelengkan kepala. “Nita
tau gak, aku khawatir kalo liat kamu nangis?” lanjutnya. Aku tetap menggeleng. Aku
tak tau, Kapus. Yang ku lihat dirimu selalu dalam keadaan bahagia, menghadapi
berbagai masalah dengan celotehmu yang membuat semua menjadi ringan. Maaf, bila
tak bisa membaca hatimu. Lagi-lagi, aku masih diminta untuk menunggu. Septi, perempuan
riang itu mencoba menghiburku. “Nita nangis gara-gara aku kan?” ungkapnya
sambil memandangku dengan cengiran khasnya. “iya nih, gara-gara septi” jawabku asal,
yang mencoba menghentikan tangis. Tapi apa daya semakin ditanya, semakin
berkata, semakin menjadilah tangisku. Aku terdiam sejenak. “aku udah gak kuat,
aku pulang aja ya” kataku yang langsung berdiri. “Loh, Nita gak mau nunggu
sebentar lagi?” Tanya Septi yang terlihat agak bingung. Aku menjulurkan
tanganku padanya untuk bersalaman, saat itu juga air mata menetes kembali. “aku
gak kuat, aku sayang kalian” ungkapku. Seketika, wajah ceria di hadapanku itu
menjadi sendu, dan airmatanya menetes begitu saja. Aku telah menularkan tangis
padanya. Maaf. Kami berpeluk erat untuk beberapa saat. “jangan nangis, biar aku
aja yang nangis” kataku. Terlihat kan keegoisanku, lagi. Melarangnya menangis,
padahal aku yang membuatnya menangis. Aku lepaskan pelukan itu dan melangkah
pergi. “Assalamu’alaikum” ucapku, meninggalkannya yang tengah terpaku.
Maafkan aku yang selalu merepotkan kalian,
sahabatku. Mungkin tangisku ini membuat kalian bingung, mengapa tiba-tiba pecah
begitu saja. Sebetulnya tangis ini adalah luapan perasaan dan pikiranku selama
satu minggu kemarin. Ketika perkuliahan semester 104 ini baru saja dimulai, aku
melihat kalian sudah bolak-balik kesana-kemari untuk melaksanakan amanah dan
berbagai kebaikan. Sedang aku, hanya bisa melihat kalian yang sibuk. Karena,
aku mencoba menghindar dari kesibukan itu. Minggu pertama semester ini aku
rasakan sangat berbeda dengan semester-semester sebelumnya. Dulu, usai perkuliahan,
pasti ada saja agenda yang menunggu, bersama kalian tentunya. Kini, aku bisa
melenggang pulang tanpa melalaikan agenda-agenda seperti dulu. Dulu, aku selalu
pulang usai sholat maghrib, ketika langit sudah gelap dan bintang-bintang mulai
terlihat. Kini, matahari masih bersinar terang, usai sholat ashar aku sudah
melenggang pulang. Di setiap perjalanan pulang itu, selama empat hari di minggu
lalu, aku selalu teringat kalian. Pasti akan jarang kita berkumpul dan
berdiskusi seperti sebelumnya. Apalagi ketika ku lihat matahari masih bersinar
di ufuk barat langit Jakarta, dan aku sudah berada di dalam bis kota. Semakin
terasa saja bedanya.
Maafkan aku bila tadi aku tidak bisa menunggu
lebih lama lagi. Aku benar-benar tak kuat. Aku takut tangisku semakin menjadi
saja. Maaf bila membuat kalian bingung dengan tingkahku. Bila kalian marah
padaku, aku tak apa. Karena aku memang pantas dimarahi karena keegoisanku ini.
Maafkan aku, sahabatku.