Tuesday 19 December 2017

Hati yang Beku



Sebagai seorang manusia, aku merasa bahwa kata baik belum pantas disematkan padaku. Sebaik-baiknya kata adalah milik-Nya Yang Maha Baik, Maha Segalanya. Banyak salah yang selalu aku kambing hitamkan pada kata "khilaf". Memohon ampunan dan mengatakan bahwa aku telah khilaf adalah kebiasaanku. Detik itu aku bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Tapi dasar manusia, tekadku ternyata tak bertahan lama. Esoknya, entah sadar atau tidak, aku mengulanginya lagi. Lalu kembali menyesal. Kemudian, memohon ampunan dan mengatakan bahwa aku telah khilaf, lagi.

Astagfirullah!
Aku bahkan ingin merutuki diriku sendiri yang sebegitu tidak konsistennya. Mengapa aku terus menerus mengulangi kesalahan yang sudah aku ketahui sebelumnya? Mengapa aku tak pernah bisa belajar dari masa lalu? Mengapa aku selalu mengulangnya meskipun aku tahu bahwa hal itu adalah salah?

Sungguh, rasanya aku ingin marah dan meneriaki diriku sendiri. Sebodoh itu kah aku hingga tak mampu lagi memindai hal-hal yang tidak baik?

Katanya, hati adalah penentu baik-buruknya manusia. Lantas aku bagaimana? belakangan ini aku merasa beku. Mungkin karena kesalahan yang aku namakan khilaf itu terlalu banyak ku lakukan. Atau mungkin karena belakangan ini aku menjauh dari-Nya? Aku sepertinya kurang mendekat. Beberapa bulan terakhir ini aku kurang sekali untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Sekadar kewajiban saja yang aku lakukan, dan sisanya aku sia-siakan. Ya Allah maafkan aku.

Ingin rasanya aku bisa menangis, karena belakangan ini aku bahkan kesulitan untuk menangis. Hatiku terasa membeku. Membuat buliran bening itu sulit mencair dan keluar dari pelupuk mataku. Aku ingin sekali menangis saat mengatakan bahwa aku khilaf, dan memohon ampunan pada-Nya. Aku ingin menangisi kesalahku agar aku dapat merasakan hatiku yang menghangat seperti dulu. Aku tak ingin hati ini terus menerus diselubungi kedingingan. Aku ingin ia menghangat kembali.

Ya Allah, ampuni aku.