Wednesday 29 November 2017

Semu di Penghujung November

Seperti aku bilang dulu, sedalam apapun kita mengubur sebuah kenangan,  nyatannya ia akan tetap terkenang. Aku yakin, mengenai hal ini kamu tentu lebih mahir daripada aku. Melalui perkataanmu, aku belajar banyak hal tentang perasaan. Pengalamanmu tentang itu membuat aku sedikit demi sedikit mulai mengerti jalan ceritanya.

Namun, terkadang aku merasa bahwa perkataanmu begitu sulit ku pahami. Itu lah mengapa  aku tidak selalu dapat memahami dirimu. Jika hari ini kamu menyunggingkan senyum, aku meyakini bahwa tidak selamanya senyuman itu berarti kamu bahagia. Kamu terlalu pandai menutupi berbagai rasamu hingga aku pun sering kali kau kelabui.

Kamu selalu berkata seakan kamu baik-baik saja, tapi keyataannya kamu tidak sedang baik-baik saja. Kenanganmu mungkin seringkali bermunculan hingga membuat hatimu mulai goyah. Mengenai hal itu aku tak bisa berbuat apa-apa. Karena sesuatu yang terkenang adalah kebahagiaanmu di masa dulu. Aku pun tak mau egois memintamu untuk melupakannya. Karena bagaimana pun itu adalah episode-episode indah yang pernah membuatmu tersenyum bahagia.

                                                              (Gambar oleh Google)

Sebagaimana jawabanku atas pertanyaanmu kala itu, aku akan memilih untuk tidak melupakan. Aku tidak akan memaksamu untuk lupa, karena aku pun tidak akan bisa lupa jika berada di posisimu.

Tapi, tak bisa kah kamu jujur padaku? Menangislah jika kamu merasa sedih, dan marahlah jika perasaanmu mulai membuncah. Jangan malah menutupinya dengan senyuman yang acap kali membuatku kebingungan. Bingung tentang apa yang harus aku lakukan padamu. Jangan ada lagi kepura-puraan di antara kita, agar aku dapat memahami dirimu dengan baik-baiknya. Sebagaimana mana kamu begitu memahami aku dan berbagai perasaanku.

November kini akan berakhir, artinya kita pun harus segera mengakhiri semuanya. Sebulan penuh kita hanya bertemu melalui sajak-sajak tak beralamat. Dan kini kita harus mengakhirinya dengan hal yang sama pula. Ini adalah akhir dari penantian panjang kita. Setelah hari ini, kita akan sama-sama memulai kembali dengan jalan yang kita pilih masing-masing. Selalu seperti itu. Kita memulai untuk mengakhiri dengan baik. Aku mungkin kurang bijak menyikapi hubungan ini. Karena kata "baik" tak melulu berarti sesuatu yang benar untukku juga untukmu.

Lagi-lagi hidup penuh dengan pilihan. Mengakhiri bukanlah pilihan yang mudah, tapi kita sudah sama-sama yakin dengan pilihan yang kita tempuh. Skenario yang telah kita susun dulu, mungkin akan berubah banyak. Tidak ada lagi skenario bersama dalam setiap sajak tak beralamat. Ternyata benar, kita manusia hanya bisa menyusun rencana, dan Allah yang menentukan bisa tidaknya rencana kita terwujudkan. Terimakasih telah membuatku menulis kembali. Sampaikan salamku pada musim gugur yang begitu membuatmu nyaman. Maka aku akan bercerita pada hujan yang selalu mendamaikanku.

Depok,
Penghujung November, 2017
 


Sunday 19 November 2017

Berbaikan dengan Waktu


       Jika bagimu jarak adalah pemisah. Maka aku setuju denganmu. Karena bagaimana pun juga, jarak telah membuat kita hidup berjauhan. Namun setelah melalui beberapa waktu, aku mulai menyukai jarak-jarak yang kini memisahkan kita.  Jauh adalah satu kesyukuran yang perlu kita sadari bersama. Berkat dia, kita bisa sama-sama menahan diri, dan berjuang agar tak kalah dengan emosi.

       Kini tinggal waktu yang akan menjadi penentu. Tentang dua insan yang sama-sama saling menunggu. Menunggu kita masing-masing bersiap hingga akhirnya mencapai kata pantas. Meskipun sejujurnya aku masih jauh dari kriteria pantas. Karena kata itu bahkan terlalu sempurna untuk aku gapai.


        Sebagaimana kamu yang kini telah berdamai dengan jarak, aku pun mencoba berbaikan dengan waktu. Membiarkannya berlalu tanpa terbesit rasa untuk menunggu. Karena sesungguhnya, menunggu hanya akan membuat aku selalu mengharapkanmu. Sedangkan kehidupan kita beberapa tahun ke depan, aku tak dapat menentukannya, bukan? iya kalau memang benar kamu, tapi kalau bukan, kita harus sama-sama siap dan menerima ketentuan-Nya.

     Kita ternyata sempat salah, karena konsep menunggu bukanlah cara terbaik agar kita dapat berteman dengan waktu. Menjalani hari sambil menikmati jarak-jarak yang terbentang rupanya adalah cara alternatif agar aku dapat melupakan kata menunggu. Selalu ketika teringatmu, aku akan melakukan hal-hal produktif yang aku bisa. Semoga kamu di sana pun tak pernah lelah untuk berupaya menjadi lebih baik, lagi dan lagi.


Depok,
November 2017

Sunday 12 November 2017

Tentang Rindu yang Tak Tertuju

Katanya, di dunia ini setiap orang memiliki tujuh kembaran. Aku setuju dengan itu. Karena dalam satu hari aku bertemu banyak orang dengan wajah yang begitu mirip denganmu. Aku sempat tidak meyakini penglihatanku. Bagaimana bisa orang-orang yang aku temui memiliki wajah yang menyerupai kamu? Iya, itu wajah kamu. 

Aku bahkan sempat mengucek-ngucek kedua mataku saking tak percayanya. 

Pada penglihatan pertama, aku masih mengatakan hal itu adalah wajar. Bukan hal aneh jika seseorang memiliki kemiripan wajah dengan orang lain. Seperti petugas Trans Jakarta rute Pinang Ranti - Pluit yang memiliki wajah mirip denganmu. Hanya saja, dia sedikit lebih tinggi darimu. 

Namun, untuk penglihatanku yang kedua dan berikutnya. Aku mulai khawatir. Apakah ada masalah dengan mataku selain masalah mata minusku ini? Mengapa aku bisa melihat banyak orang yang berwajah kamu?

Seseorang berjaket hitam di halte Dukuh Atas, lelaki yang aku temui di mushola selepas ashar, seseorang yang memegang kamera di depan Museum Fatahilah, pemuda yang tengah tertawa dengan teman-temannya di depanku, Mas-mas petugas bis tingkat, sampai lelaki yang aku temui di masjid istiqlal. Mereka semua begitu mirip denganmu hingga tanpa sadar aku mulai memikirkanmu. Astagfirullah!

Aku tidak mempercayai penglihatanku. Mengapa bisa dalam hitungan jam aku menemukan orang-orang yang memiliki wajah kamu? penglihatanku yang salah, ataukah hatiku yang mulai resah? Entahlah!



Sempat terpikir olehku, mungkinkah ini adalah cara Allah untuk menjawab kerinduanku atasmu?

Rindu? Aku bahkan tak sadar jika kata "rindu" itu terucap oleh lisanku. Benarkah aku merindukanmu? 
Ah, tidak-tidak! Tidak boleh ada rindu di antara kita. Rasanya tidak pantas jika aku menganggap bahwa ini adalah sebuah rindu untukmu, tidak!

Karena rindu sesungguhnya adalah hasrat ingin bertemu. Sedangkan aku tak menginginkan itu. Membiarkan jarak membentang dan menerimanya dengan lapang adalah pilihanku. Tak boleh ada rindu di antara kita. Karena bila ini adalah rindu, maka rindu ini tak akan tertuju. Sebab aku tak menginginkan temu, dan lebih memilih membenamkannya dalam semu.

Rindu tak tertuju. Ia dapat muncul kapan saja tanpa pemberitahuan lebih dulu. Menyembul dalam kalbu hingga otak tak mampu lagi menyangkal meski telah sekuat tenaga berusaha. Namun dalam hal ini, aku masih bersikeras menolak jika aku merindukanmu. Aku tidak akan membiarkan rindu hadir untukmu. Karena aku  tahu, kamu di sana tidak memerlukan itu. Kamu pernah berkata, "Daripada merindu, lebih baik mendoa". Memunculkanmu dalam setiap doaku adalah episode yang tak sekalipun terlewatkan. Berharap kebaikan selalu datang menghampirimu dan semua penantianmu akan segera tertuju.

Depok,
November 2017





Wednesday 8 November 2017

Aku Memilih untuk Tidak Melupakan

Saat kamu bertanya tentang pedihnya melupakan, aku jadi termenung. Mengingat setiap perkataanmu dan menganggukkan kepala tanda menyetujui semua asumsimu.

Aku mencoba memahami perasaanmu, karena rasaku pun begitu. Mencoba untuk melupakan sesuatu yang pernah menjadi bagian penting dalam kisah hidup kita, pasti takkan mudah. Karena untuk melupakan kita harus menghapus skenario itu dan mengubah jalan ceritanya. Itu adalah skenario milikmu, kamu bebas membuat jalan ceritanya. Namun kamu harus ingat, semua itu  takkan bisa kamu selesaikan seorang diri. Kamu tentu membutuhkan tangan-tangan lain, kepala-kepala lain, bahkan hati-hati yang lain untuk mengubahnya menjadi sebuah cerita manis sesuai dengan impianmu.



Begitupun dalam hal melupakan. Kecil kemungkinanmu berhasil melupakan bila kamu berjuang sendirian. Untuk melupakan sesuatu yang pernah berarti bagimu itu, kamu membutuhkan tokoh-tokoh lain agar jalan ceritamu tetap semanis keinginanmu. Hal itu pun takkan sebentar. Karena sesuatu yang berharga, besar kemungkinannya untuk tetap bertahan dalam jiwa, meskipun kamu telah sekuat hati berusaha. Semua yang ada di dunia ini, sudah tentu membutuhkan proses. Dan prosesmu adalah setiap kepedihan yang timbul akibat usaha melupakan.

Tapi ...
Bila aku jadi kamu, aku akan memilih untuk tidak melupakan. Karena kenyataannya, aku tidak sekuat kamu. Aku mungkin tak mampu menampung bulir kepedihan apabila aku memaksakan diri untuk lupa. Membiarkan kenangan berterbangan di pikiranku sepertinya adalah pilihan terbaik. Selagi itu masih dalam batas wajar, aku tidak apa. Karena kenangan, sewaktu-waktu pasti akan terkenang sekuat apapun kita menenggelamkannya. Jadi, biarkanlah ia tetap terkenang bersamaan dengan kita yang mencoba memperbaiki hati. Meneruskan kembali skenario yang sudah ada, menjadi sebuah kisah manis yang penuh arti.


                                                                                                            
                                                                                                             Depok, November 2017

Monday 6 November 2017

Sebuah Cara Mempertemukan

Sekelebat rasa bahagia muncul kala tatapan itu tertuju padaku. Padahal hanya sedetik saja. Satu detik yang ternyata menghasilkan ribuan harap bagiku. 

Aku sempat terkhilaf, membuat pandanganku lekat padamu yang berada jauh di depan sana. Memerhatikanmu pada setiap gerik yang kurekam dengan baik. Menantikan tatapan indahmu kembali lagi pada diriku. Meskipun kenyataannya harapku tak terdengar olehmu. 

Ada sebuah tanya yang menggelitik kalbuku kala itu, "Apakah kamu orang di masa depanku itu?"

Entah! Karena sesungguhnya Allah telah menyuratkan hal itu pada takdir kita masing-masing. Namun, aku tak memungkiri bahwa aku tetap menaruh harapan besar itu padamu. Tak ada usaha yang dapat aku lakukan kecuali memanjatkan doa pada Ilahi. Bukan namamu yang ku sebut dalam doa, tetapi aku hanya meminta yang terbaik sesuai rencana-Nya untukku dan untukmu. Kalaupun ternyata takdir kita bukan untuk bersama, aku tak apa. Karena mengikhlaskanmu adalah kewajibanku.


Allah mempertemukan kita pasti bukan tanpa alasan. Terutama bagiku, pertemuan kita adalah peringatan agar aku senantiasa memperbaiki diri. Mendekatkan diri pada Ilahi dan mempersiapkan diri apapun yang nanti akan terjadi. 

Katamu, pertemuan itu berteman baik dengan perpisahan. Cara Allah mempertemukan kita adalah dengan cara yang indah. Kalaupun nantinya akan ada perpisahan di antara kita, aku harap Allah memberikan kita cara yang indah pula.

Kini, kamu tengah mempersiapkan masa depanmu di negeri yang belum pernah aku pijak. Sementara aku masih di sini, di negeri kita yang kaya akan budaya juga cerita. Kita sama-sama mempersiapkan diri dengan cara yang kita tempuh masing-masing. Semoga Allah selalu meridhoi perjuangan hamba-hambanya yang berjalan munuju kebaikan.


Aku,
Depok, November 2017