Saturday 31 December 2016

Aku (Tak) Kecewa: 2. Maaf, Membuatmu Menunggu Lebih Lama


 
"Satya udah hubungi kamu Sya?"
"Belum Mbak. Kayaknya dia sibuk"
"Tapi dia udah tau belum kalo kamu wisuda minggu depan?"
"Aku udah whatsapp dia Mbak kemaren. Tapi cuma ceklis satu"
"Ya ampun Sya. telpon lah kalo gitu. Gimana kalo dia nggak aktifin internetnya terus?"
Aku terdiam.
Sudah beberapa hari ini aku memang tak bisa menghubungimu. Biasanya kamu selalu aktif whatsapp dan langsung membalas pesanku saat itu juga. Tapi kini aku seperti kehilanganmu, Kak. Mbak Kirana bilang aku perlu menelponmu untuk mengabari perihal wisudaku yang akan dilaksanakan Rabu depan. Tapi, aku sama sekali tak punya keberanian untuk melakukan hal itu. Selama ini kita hanya berkomunikasi via pesan whatsapp, itu pun saat diperlukan saja. Tak pernah sekali pun kita berbicara melalui telpon apalagi pertemuan langsung yang direncanakan.
Terakhir bertemu memang satu bulan lalu ketika kita sama-sama takziah ke tempat almarhum salah seorang guru SMA. Itu juga benar-benar hanya bertemu kemudian lalu. Kamu yang begitu terburu-buru hanya mempersilahkanku tersenyum menyapamu tanpa mengucap sepatah katapun padamu.
Kamu yang kini sudah bekerja di sebuah perusahaan IT tampaknya begitu sibuk dengan berbagai urusan pekerjaan. Aku tak ingin mengganggumu karena itu. Tapi, apakah kini aku harus benar-benar menelponmu untuk mengabarimu jadwal wisudaku?
Pasalnya dulu kamu pernah berkata melalui sebuah pesan whatsapp padaku.
"Nanti kalo kamu wisuda, insya Allah aku ke Jakarta"
Satu kata pun rasanya takkan pernah hilang dari ingatanku. Karena setiap pesan darimu masih tersimpan rapi dalam riwayat percakapan kita di whatsapp. Aku tak pernah sekali pun berniat menghapusnya karena komunikasi yang terjadi antara kita adalah hal langka yang bagiku perlu diabadikan.
"Sya, nggak ada salahnya kok kamu telpon duluan. Lagian kalian kan udah lama nunggu saat-saat ini" kata Mbak Kirana lagi di sela-sela kegiatannya menidurkan Raniakeponakanku.
"Aku takut ganggu dia Mbak"
"Sya, bukannya dia bilang mau datang pas kamu wisuda?" Aku mengangguk. "Itu artinya dia minta kamu buat telpon dia segera. Sana telpon!" Mbak Kirana lagi-lagi berasumsi seenak mulutnya berkata sambil menepuk pelan punggung putrinya yang telah terlelap. Tapi kali ini, aku rasa Mbak Kirana ada benarnya. Kamu sendiri yang bilang akan hadir di wisudaku, berarti aku hanya perlu menyampaikan kabarnya saja bukan?
Jujur, aku memang begitu mengharapkan kehadiranmu saat wisuda nanti. Bukan semata-mata karena ingin ucapan selamat apalagi sebuket bunga darimu, bukan! Tetapi karena ada hal lain yang lebih penting dari itu. Hal yang menjadi rencanamu sejak lama dan aku menunggu-nunggu hal itu.
"Hei! Kenapa malah bengong?" Mbak Kirana tak henti-hentinya menegurku. "Belum berani buat telpon juga?" tanyanya sambil tersenyum sarkastik padaku. Kakakku ini memang selalu berhasil membuatku berpikir ulang.
"Nanti aja Mbak, aku telpon abis Dhuzur"
"Jangan ditunda-tunda Sya. Inget nggak? kamu udah nunda lulus satu tahun, artinya kamu udah ngebiarin Satya nunda niat baiknya selama satu tahun!"
JLEB!
Perkataan Mbak Kirana memang selalu membuatku terpukul telak. Benar! Aku sudah membuatmu menunggu lebih lama. Kesibukanku dengan kegiatan organisasi di kampus memang menjadi salah satu alasan kuat yang mengharuskanku tidak mendapatkan gelar sarjana dalam empat tahun.
Dan kini aku sudah mendapatkannya, meskipun harus menambah waktu kuliahku selama satu tahun, yang artinya juga menambah waktu kita sama-sama menunggu. Dari semua penilaianku terhadapmu, aku tahu pasti bahwa dirimu sudah mencapai kata pantas dan siap sejak lama. Namun aku harus benar-benar mengucapkan kata maaf padamu karena telah membuatmu harus menungguku lebih lama.
Maaf Kak, aku tidak bisa lulus dalam empat tahun seperti rencana kita di awal.
Pernah suatu hari, Allah mempertemukan kita tanpa kita rencanakan sebelumnya. Semarang menjadi sebuah kota yang mempertemukan dua insan yang sejak lama tak bersua. Embusan angin di Simpang Lima Semarang menjadi saksi atas ketidakpercayaan dan kebisuan kita selama beberapa jenak. Aku yang saat itu antara takut dan bahagia kala melihatmu di tempat yang tak pernah kuduga. Dan kamu yang tampak sama terkejutnya denganku.
"Nisya?" kamu yang mengakhiri keterbisuan kita dengan memanggil namaku seolah tak percaya. Keterkejutan di wajahmu seketika hilang dan berganti dengan senyuman hangat khas dirimu. Iya, kamu tersenyum dan melangkah pelan ke arahku.
Semua masih terasa sama, aku selalu merasakan sebuah sentakan aneh di balik dadaku kala melihat senyumanmu itu.
"Kakak kok disini?" Aku lebih dulu bertanya saat dirimu sudah berdiri beberapa langkah di hadapanku.
"Tadi abis meeting di deket sini, dan entah kenapa pengen banget ke Simpang Lima. Eh, ternyata ada kamu Sya" kamu menjawab dengan senyuman yang masih tak hilang dari wajahmu.
Aku percaya tidak ada kebetulan di dunia ini. Yang ada hanyalah takdir yang telah Allah rencanakan. Hampir sama sepertimu, aku baru semalam sampai di Semarang dan pagi ini Simpang Lima adalah tempat pertama pilihanku. Aku pun sama sekali tak menduga bahwa kita akan dipertemukan di kota kelahiranku ini.
"Kamu sama siapa Sya?" tanyamu lagi saat kita sudah sama-sama duduk di tepi taman. Lalu lalang manusia di Simpang Lima menjadi pemandangan yang begitu menarik, terlebih karena kehadiranmu di disini.
"Sendiri Kak, aku lagi nginep di rumah eyang, nggak jauh dari sini" jawabku padamu sambil memandang keramaian Simpang Lima.
Kamu hanya menganggukkan kepala tanda memahami perkataanku. Melihatmu sedekat itu membuat aku menyadari  satu hal, wajahmu tampak berbeda. Bukan karena frame kacamata yang kamu pakai berbeda dari terakhir kali kita bertemu. Tapi benar-benar perbedaan alami yang tampak di wajahmu. Terlihat lebih dewasa sudah tentu, tapi garis rambut tipis di atas bibirmu adalah satu hal yang paling mencolok di terima mataku. Itu kumis. Ah, benar! Kamu berkumis.
Bukankah itu salah satu keinginanmu? Aku ingat betul ketika kita masih sama-sama mengenakan seragam putih abu-abu dengan tingkat yang berbeda, kamu pernah memberitahuku salah satu keinginanmu di sela-sela kegiatan class meeting waktu itu.
Jakarta, 7 Juni 2009
Sya, kamu lihat Pak Arman disana? katamu waktu itu saat kita berada di  pinggir lapangan. Aku yang waktu itu tengah menyeruput es teh manis hanya menganggukkan kepala dan mengikuti arah pandangmu. Bisa nggak ya aku punya kumis kayak Pak Arman? katamu lagi sambil tersenyum penuh harap.
Kata-katamu saat itu sungguh membuatku terheran-heran. Bukankah semua laki-laki akan memiliki kumis ketika dewasa nanti?
Hah? Kumis? Tanyaku kebingungan. Aku refleks menoleh ke arahmu dan memandang wajahmu lekat-lekat. Sepersekian detik setelah kamu menyelesaikan ucapanmu yang terdengar konyol di telingaku itu, aku langsung membayangkan bagaimana dirimu ketika berkumis nanti. Tak butuh waktu lama, aku langsung tertawa di sampingmu karena membayangkan kumis Pak Arman berada di wajahmu.
Melihatku tertawa kamu menampakkan kebingungan di wajah berkacamatamu. Loh, kok ketawa?  Meskipun sulit, aku berusaha menghentikan gelak tawaku karena pikiran konyol itu.
Kayaknya bakal lucu deh kalo Kakak berkumis kayak Pak Armanungkapku yang masih berusaha meredam tawa.
Hmm, lihat aja nanti. Kamu pasti terpukau kalo aku punya kumis! balasmu dengan penuh percaya diri. 
Ah, benar! Perkataanmu ternyata benar!
Aku tidak tertawa sama sekali melihatmu memiliki garis rambut tipis di antara bibir dan hidungmu, yang ada aku malah memujimu yang tampak begitu dewasa dengan kumis itu. Aku benar terpikat padamu saat itu.
Astaghfirullah!
Aku beristighfar dalam hati kemudian mengalihkan pandanganku ke sembarang tepat kecuali wajahmu. Bising kendaraan  dan riuh suara manusia berbaur dengan degup jantungku yang tiba-tiba berdegup lebih kencang setelah aku beristighfar. Rasanya seperti banyak kuda-kuda yang berlarian di dalam sana. Ah, sepertinya jantungku beralih fungsi dari organ pemompa darah menjadi sebuah pacuan kuda yang ramai.
Astaghfirullah hal adzim!
Ucapku lagi membatin. Mencoba menenangkan hati dan meredam pacuan kuda yang tak seharusnya berada di jantungku.
Sya Tiba-tiba kamu memanggilku. Membuat aku nyaris terperajat karena kagetnya. Gimana Skripsi kamu? Lancar?
Angin yang tadinya sejuk seketika berubah menjadi badai kala aku mendengar pertanyaanmu. Skripsi? Apa itu skripsi? Rasanya aku ingin amnesia sesaat. Datangnya aku ke Semarang adalah untuk menghindari kata-kata itu. Menghindari hal itu. Tepatnya, untuk merenungkan kelalaianku yang tak dapat mengatur waktuku dan diriku dengan baik.  
Mungkin bisa dikatakan bahwa aku melarikan diri. Dua minggu ke depan sebagian teman seangkatanku akan mengenakan toga dan resmi menyandang gelar sarjana.
Sedangkan aku? Jangankan memakai toga, Penelitianku saja masih belum kelar. Aku terlalu sibuk dengan urusan organisasi kampus dan kewajibanku sebagai guru. Sampai-sampai penelitian untuk mengisi skripsiku saja belum rampung. Empat bulan terakhir ini aku memang sudah mengajar di sekolah menggantikan salah seorang guru yang cuti melahirkan, pada awalnya. Tapi karena masalah kesehatan buah hatinya guru itu memutuskan untuk berhenti mengajar agar fokus untuk membesarkan putranya.
Jadilah aku tetap menggantikan posisinya sebagai wali kelas sampai waktu yang tak ditentukan. Selain karena permintaan sekolah, ini adalah impianku. Menjadi seorang guru. Kesibukkan sebagai seorang guru dan wali kelas membuatku terbuai karena kenyamanannya belajar bersama anak-anak kelas 1 di  sebuah SMP Islam swasta di Jakarta. Sekolah ini adalah sekolah tempat aku melaksanakan  praktek kegiatan mengajar ketika semester 7 lalu.
Kegagalanku lulus dalam empat tahun bukan karena organisasi atau peranku sebagai guru, melainkan karena kelalaianku yang tak bisa mengatur waktuku dengan baik. Jadilah aku seperti ini hingga melarikan diri ke Semarang untuk setidaknya menetralkan pikiran dan perasaanku.
Mendadak aku menyadari sesuatu. Sesuatu yang membuatku kesulitan menelan salivaku sendiri, seakan kelat di tenggorokan. Aku tidak lulus tepat waktu artinya aku membuatmu menunggu lebih lama.
"Maaf Kak!"
Hanya dua kata itu yang berhasil lolos dari celah bibirku. Aku seperti tak berdaya untuk mengatakan hal lain selain kata maaf padamu saat itu.
"Maaf untuk apa?" Kamu menoleh padaku dengan heran yang begitu jelas pada wajahmu.
Ya Allah, ternyata kelalaianku dalam penyelesaian skripsi bukan hanya berimbas pada masa studiku yang bertambah tapi pada masa menunggumu juga. Masa menunggu kita.
Tawa renyah para remaja dan teriakan seorang bocah yang memanggil nama temannya terdengar begitu menyakitkan di telingaku. Duniaku serasa beku. Menundukkan kepada dan menatap sepasang flat shoes biru dongker usang adalah pilihanku. Aku tak sanggup untuk menampakkan wajah ini di hadapanmu Kak. Aku tak mampu menatapmu karena aku telah mengecewakanmu. Maaf!
"Maaf!" Lagi-lagi kata itu yang terucap dengan suara parauku karena menahan isak. "Maaf karena aku nggak bisa lulus tepat waktu"
Luruh. Akhirnya terjatuh juga. Buliran hangat yang terasa dingin karena terpaan angin. Aku benar-benar tak menyangka, lagi-lagi aku menangis di depanmu. Rasanya aku adalah seorang perempuan yang tak tahu malu karena seenaknya menumpahkan air mata di hadapanmu, di tengah keramaian kota Semarang.
Dan lagi-lagi, kamu hanya diam. Sungguh, aku semakin tersedu karena keterdiamanmu. Aku takut jika kamu benar-benar kecewa padaku karena aku tak bisa menepati janjiku untuk lulus dalam empat tahun, yang artinya kamu harus menungguku lebih lama lagi.
"Sya, nggak pa-pa kok.  Kamu udah berusaha dengan baik. Mungkin kamu emang nggak lulus tepat waktu, tapi  Allah pasti udah menyediakan waktu yang tepat untuk kelulusanmu"
Akhirnya aku mendengarmu bersuara. Suara renyahmu terdengar santai seolah kamu baik-baik saja. Atau mungkin kamu memang baik-baik saja. Karena akulah yang tidak baik-baik saja.
"Kalo kamu nangis karena aku, sungguh, aku nggak pa-pa Sya. Insya Allah aku akan tunggu sampai waktu yang tepat  itu tiba"
Semua perkataanmu selalu membuatku mengagumimu sekaligus malu padamu. Ketulusanmu, kesabaranmu serta keikhlasanmu. Aku sungguh malu padamu Kak. Empat tahunmu tampaknya benar-benar membuahkan hasil. Sedangkan empat tahunku? masih banyak hal yang perlu aku perbaiki. Mungkin karena aku belum mencapai kata pantas makanya Allah menunda kelulusanku, yang secara tidak langsung juga menunda harapanku untuk menjadi seseorang bagimu.

No comments:

Post a Comment