Sunday 25 December 2016

Aku (Tak) Kecewa: 1. Di Batas Senja





        Siang mulai beranjak hingga sang petang menggantikan posisinya. Aku menundukan kepala sejenak untuk melihat arloji yang melingkar di pergelang tangan. 17:45 adalah angka yang muncul ketika aku lekat menatapnya. Detik kemudian pandanganku teralihkan pada hamparan jingga di langit barat Jakarta. Ah, Senja ini langit ibukota tampak begitu indah. Senja yang menjingga. Amat jingga. Lelahku setelah seharian beraktivitas terasa meluap begitu saja kala menyaksikan ciptaan Allah Yang Maha Indah. 
         Seakan tak ingin menyiakannya begitu saja, aku langsung menangkap potretnya melalui kamera ponsel yang tidak seberaba tinggi pixelnya itu. Meski begitu, ia tetap mampu untuk mengabadikan sebuah keindahan nyata yang tak selalu dapat terlihat. Di sini, di ketinggian sekitar 5-7 meter aku menghentikan langkah untuk sejenak menikmati indah yang begitu memanjakan mata.
Keindahan senja ini membuatku kembali mengingatmu. Ingatkah, kita mengakhiri dan memulainya di batas senja lima tahun yang lalu. Saat itu kamu baru saja pulang dari Bandung dan memintaku untuk menemuimu di tempat biasa kita bertemu. Sebuah danau di pinggiran timur Jakarta. Andai kamu tahu betapa bahagianya aku ketika sebuah pesan sampai di ponselku.
Sya, aku lagi di Jakarta. Bisa ketemu sore ini di danau?
        Aku bahkan masih mengingat setiap kata darimu yang kubaca dengan bunga-bunga yang bermekaran di taman hatiku. Bagaimana tidak, ini adalah pertemuan pertama kita sejak kamu kuliah di Bandung. Pesan itu sampai di ponselku sekitar jam dua siang dan saat itu juga aku langsung kelabakan mencari baju yang kiranya cocok aku kenakan untuk bertemu denganmu. Mengingat hal itu, membuat aku malu sendiri. Ternyata aku benar-benar remaja yang jatuh cinta.
        Celana jeans panjang, dengan kaos merah muda berbalut cardigan ungu menjadi pilihanku. Rambut sebahuku aku biarkan terurai dengan sebuah bando hitam kecil yang melingkari bagian depan rambutku. Dengan senyuman yang tak habis-habisnya aku sunggingkan, aku mengayuh sepeda menuju danau. Di sana, aku melihatmu. Tengah terduduk di atas rerumputan dan memandang bias cahaya yang tampak di permukaan air danau. Aku masih mengingat jelas bahwa itu adalah kegiatan favoritmu.
        Masih dengan senyuman yang sama, aku menghampirimu. Aku bahkan belum sempat  memanggil namamu ketika kamu sudah menoleh lebih dulu. Membuat hatiku tiba-tiba berdesir kala senyuman hangatmu tertangkap indera penglihatanku.
        Kamu langsung berdiri menyambutku. Nisya suaramu terdengar memanggil namaku, dan masih dengan senyuman ramah khas milikmu. Senyuman yang selalu aku rindukan selama satu tahun terakhir. Setahun tak bertemu ternyata kamu masih sama. Hanya saja aku merasa bahwa tinggi badanmu sedikit bertambah. Entah hanya perasaanku saja atau memang benar adanya.
        Hai, Kak! Udah dari tadi ya? tanyaku yang langsung menghampirimu. Berdiri tepat dua langkah di hadapanmu. Menatapmu dengan senyuman yang sejak tadi tak mau pergi dari wajahku.
        Enggak kok. Baru nyampe sekitar lima menit yang lalu jawabmu lalu mengajakku duduk di atas rerumputan hijau di tepi danau. Aku pun tanpa diminta dua kali langsung duduk di sampingmu. Andai kamu tahu, saat itu adalah saat dimana aku ingin berteriak dan memelukmu untuk meluapkan segala kerinduan yang tertahan selama satu tahun tak bertemu. Namun, kamu jelas tahu aku. Aku bukanlah perempuan agresif yang akan melakukan hal itu padamu. Aku terlalu malu untuk itu. Terlebih aku pun tahu bahwa kamu bukanlah lelaki yang selalu menunjukkan perasaanmu.
        Kamu apa kabar, Sya? Setahun nggak ketemu kayaknya kamu tambah dewasa ya
        Dewasa? Aku terkekeh kecil. Entah bagian mana dari diriku yang menunjukkan aku tampak lebih dewasa seperti perkataanmu. Aku baik. Kakak gimana? Setahun di Bandung kayaknya betah banget ya sampe nggak pulang-pulang. Balasku padamuyang sebenarnya tersirat ungkapan yang mengharapkan kepulanganmu sejak lama.
        Tanpa menoleh ke arahku, kamu tersenyum. Iya, Bandung ternyata nyaman banget Sya. Nggak nyesel deh aku kuliah di sana
        Aku yang melihatmu begitu antusias saat berkata hanya bisa menganggukkan kepala dan tersenyum simpul. Sebenarnya banyak kata yang ingin aku ungkapkan padamu setelah satu tahun tak bertemu, namun entah mengapa rasanya aku tak mampu mengungkapkannya. Dengan memandangmu saja sudah cukup bagiku.
        Sya, gimana ujian nasional kamu?
        Aku menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaanmu. Alhamdulillah. Semua udah kelar. Semoga aja hasilnya nggak mengecewakan ya Kak
        Semoga ya, Sya. Aku tahu banget gimana giatnya kamu kalo belajar. Insya Allah sesuai harapan lah hasilnya Kamu kini menoleh padaku sekilas. Oiya, udah tentuin mau kuliah dimana? wajahmu tampak begitu serius meski dengan senyuman hangatmu.
        Aku mengangguk, lalu meluruskan kedua kakiku. Aku pilih UNJ sama UNNES buat jalur undangan. Jurusannya Pendidikan Matematika. Pengumumannya minggu depan Kak. Doain ya  
        Wih matematika. Nggak coba di UPI?
        Pengen sih, tapi nggak boleh sama Ibu. Katanya aku cuma boleh kuliah di Jakarta atau di Semarang jadi bisa tinggal sama eyang. Padahal awalnya aku mau pilih UPI
Kamu menganggukkan kepala sambil memandangi bias cahaya senja. "Kuliah mah di mana aja Sya. Yang penting ilmunya. Menuruti keinginan Ibu insya Allah berkah. Aku selalu berharap yang terbaik untuk kamu Fanisya".
 Perkataanmu terdengar begitu berwibawa Kak, tampaknya perubahan statusmu dari siswa menjadi mahasiswa benar-benar telah merubah pola pikir dan sikapmu. Dan aku merasa semakin menyukaimu karena itu. Aku menatapmu dalam diam. Hanya anggukan kepala dua kali yang menjadi jawabanku atas perkataan bijakmu.
"Hmm. ... Sya?" ucapmu yang tiba-tiba menoleh padaku. Membuat dua pasang mata kita saling beradu untuk beberap jenak. Aku bahkan sempat merasakan sentakan hebat dari balik dadaku kala bola mata cokelatmu mengunci pandanganku.
"I-iya Kak?" Sahutku ragu-ragu.
Kemudian kamu tersenyum kecil yang aku yakini karena kamu menangkap kegugupan dari jawabanku. Tatapan mata kita kini terlepas. Aku memilih menunduk karena begitu malu menunjukkan kegugupanku di hadapanmu, sementara kamu lebih memilih menikmati hamparan air danau yang beriak karena terpaan angin. Kita sama-sama terdiam untuk beberapa saat. Sampai akhir aku mendengarmu berucap.
"Sya, setelah lulus kuliah nanti kamu mau jadi guru ya berarti?" Katamu yang masih memandang lurus-lurus ke arah danau. Aku pun mengangkat kepalaku dan mengikuti arah pandangmu. kita duduk bersebelahan dengan arah pandang yang sama.
"Insya Allah Kak. Aku mau jadi guru matematika" jawabku yang masih menikmati pemandangan senja bersamamu.
"Amin" Kamu mengamini impianku yang seketika membuat hatiku menghangat. "Setelah itu?" tanyamu kemudian.
Membuat aku mengernyitkan dahi karena tak mengerti maksud pertanyaanmu. Bersamaan dengan itu kepalaku sudah berhasil menoleh ke kirike arahmu.
"Setelah itu?" Aku membeo atas perkataanmu yang sungguh tak dapat aku pahami. Dan Lagi-lagi aku melihatmu tersenyum kecil karena reaksiku. Apa kamu begitu terhibur melihat wajahku yang menampakkan ekspresi aneh begitu?
"Iya, setelah kamu jadi guru kamu mau ngapain lagi?"
"Entah, belum kepikiran"
"Menikah?"
"Hah? Nikah?"
"Kenapa, kok kaget begitu?"
"Aku belum mikir sampe kesitu kak, sekarang aja aku belum tau lulus apa enggak, kuliah dimana juga belum ketahuan. Apa lagi tentang menikah. Benar-benar belum kepikiran. Aku masih 17 tahun Kak"
"Tapi aku udah kepikiran Sya" katamu dengan begitu santainya. Jujur, aku tak mengerti kemana arah pembicaraan kita sebenarnya.
"Aku seorang laki-laki yang kelak akan bertanggung jawab atas seorang perempuan. Dan aku berharap perempuan itu adalah kamu Fanisya Anindita"
Seketika dunia terasa berhenti. Hempasaan angin dan kicauan burung yang sejak tadi menjadi nyanyian senja pun mendadak sunyi. Yang terdengar hanyalah debaran jantungku yang tiba-tiba menggila. Apa aku sedang bermimpi?
"Sya" suaramu yang memanggil penggalan namaku membuat aku tersadar dari kebergeminganku.
"Fitrah seorang laki-laki adalah menjaga perempuannya. Aku ingin menjadi orang yang menjagamu Nisya. Tapi nanti, ketika kita telah mengikat diri pada sebuah janji yang menjadikan kita halal" Kamu berhenti berkata lalu menoleh lagi padaku. 

Perkataanmu sunggu membuat aku membeku. Pasalnya aku tak tahu harus merespon perkataanmu dengan kata apa. Kamu yang masih memandang keterpakuanku tiba-tiba menyimpulkan senyuman hangat khas dirimu. 
"Kak, inti pembicaraan kita sebenarnya apa ya? Aku nggak ngerti"
Aku memang begitu tersanjung atas perkataanmu kak. Perempuan mana pun pasti akan luluh hatinya karena perkataan indahmu itu. Namun aku tetaplah seorang remaja yang baru berusia 17 tahun. Aku tidak tahu pasti maksud perkataanmu.
Aku sempat mendengar kamu menarik napas panjang dan menghelanya perlahan sebelum akhirnya kamu bersuara untuk menjawab rasa penasaranku. "Sya, maafin aku. Aku rasa kita harus mengakhiri hubungan kita"
Kebingunganku akan perkataanmu tiba-tiba menghasilkan sentilan kecil pada hatiku.
"Maksud kakak? Putus?". Sahutku bertanya dengan suara yang sedikit meninggi. Bagaimana bisa kamu mengatakan hal itu setelah sebelumnya kamu melambungkanku tinggi-tinggi.
Kamu menganggukkan kepala tanpa menatapku. "Aku rasa itu yang terbaik buat kita Sya. aku nggak mau membawa kamu ke dalam dosa karena ikatan yang nggak seharusnya ini"
"Dosa gimana sih kak? Selama ini kita kan nggak pernah bersentuhan, jangankan pelukan, pegang tangan aku aja kakak nggak pernah kan?"
"Sya, dosa atau enggaknya emang Allah yang menentukan. Tapi kita punya kewajiban untuk mencegahnya. Dalam Al-Quran aja dikatakan jangan dekati zina. Mendekati aja udah nggak boleh Sya. Artinya kita harus mencegahnya dengan memutuskan hubungan kita"
"Kakak tuh sebenarnya kuliah jurusan elektro apa jurusan agama sih? Kok jadi ceramahin aku begini?" Aku sudah benar-benar tersulut emosi. Pasalnya kamu berubah drastis. Kamu yang dulu terasa begitu hangat dengan setiap candaanmu kini menjadi seorang yang begitu banyak bicara tentang agama. Apa orang-orang yang memasuki dunia kuliah akan berubah seperti ini? pikirku kala itu.
Aku melihat wajahmu semakin serius. "Sya, tolong" pintamu dengan nada bicara yang penuh penekanan. "Aku begini untuk kita ke depannya. Aku ingin memperbaiki diriku agar pantas menjadi laki-laki yang akan bertanggung jawab atas dirimu Sya. Aku mau kita sama-sama memperbaiki diri"
Terpaan angin senja kembali terasa dan membuat kesenduanku semakin menjadi. Aku tak lagi sanggup menahannya. Buliran bening itu akhirnya mengalir membentuk sebuah garis yang melewati pipi gembilku. Aku menangis karena perkataanmu yang terdengar begitu menyakitkan namun juga begitu menyentuh hatiku. Perasaan sakit karena diputuskan oleh lelaki baik sepertimu rasanya kalah dibandingkan perasaan haruku karena mendengar perkataan tulusnya yang terdengar begitu syahdu.

"Sya maafin aku"
Malihat aku yang mulai tersedu kamu hanya bisa memandangku dengan ekspresi yang juga sendu, tanpa berani mengambil tindakan untuk mendiamkanku dengan sentuhanmu. Aku tahu benar kamu selalu begitu.
"Jika menangis bisa bikin kamu lebih tenang, nangis aja Sya. Aku disini untuk bertanggung jawab atas tangisanmu"
Mendengar dua kalimat yang kamu lontarkan itu membuat aku semakin terisak dalam tangis. Teriakan burung-burung kecil di sekeliling danau seakan ikut terhanyut dengan perasaanku.
"Sya, aku mau kita memulai semuanya dari awal dengan sama-sama memperbaiki dan memantaskan diri untuk mendapatkan cinta yang sejati. Cinta pada Sang Maha Pemilik Hati, Sya." Katamu saat aku masih menangis tersedu. "Jodoh adalah takdir yang udah ditentukan, Sya. Kita hanya perlu berikhtiar untuk mendapatkan hak kita. Kata Al-Quran perempuan yang baik hanya untuk lelaki yang baik. Begitu juga sebaliknya. Itu adalah alasan kenapa aku mau kuta sama-sama memperbaiki diri. Aku berharap kamu bisa ngerti harapan aku, Sya" tuturmu lagi.
Dalam tangisku aku masih bisa mendengar setiap kata yang kamu ucapkan dengan sangat jelas. Masuk melalui indera pendengaranku hingga terasa menggetarkan relung hatiku. Untuk beberapa menit kita sama-sama terdiam. Aku yang diam karena merasakan dan memikirkan perkataanmu dan kamu yang terdiam tanpa aku ketahui alasan atas keterdiamanmu.
Perlahan hatiku menyetujui setiap perkataanmu lalu aku mencoba meyakinkan pikiranku  bahwa apa yang kamu ucapkan adalah benar. Mungkin memang ini yang terbaik untuk kita. Melepaskan untuk saling mendekatkan. Dekat pada Sang Pemilik Hati dan memasrahkan semua pada ketentuannya.
Allahuakbar Allahuakbar …”
Gema adzan maghrib membuat aku mengakhiri ingatanku atas kenangan kita di batas senja lima tahun yang lalu. Aku bahkan tak sadar bahwa aku telah meneteskan sebuah bulir bening kala mengingat saat-saat itu. Langit yang tadi masih cerah kini telah menggelap. Namun jingga masih tampak di ufuk barat kota. Jingga yang begitu indah. Barisan lampu kendaraan bersama dengan deru mesinnya menjadi pemandangan dan alunan merdu kala peralihan senja menjadi malam. Aku menaruh kembali ponsel yang tadi kupakai untuk memotret keindahan senja ibukota ke dalam ransel. Kemudian bergegas menuruni jembatan penyebrangan dari halte busway Cikoko menuju Stasiun Cawang untuk melaksanakan sholat Maghrib dan selanjutnya melanjutkan perjalanan dengan kereta ke arah Depok.
Kenangan, andai dulu kamu tak berani memutuskanku. Mungkin aku takkan menjadi Fanisya Anindita seperti saat ini. Terimakasih atas keberanianmu Kak Satya Eka Mardiansyah.

No comments:

Post a Comment