Siang mulai beranjak
hingga sang petang menggantikan posisinya. Aku menundukan kepala sejenak untuk
melihat arloji yang melingkar di pergelang tangan. 17:45 adalah angka yang
muncul ketika aku lekat menatapnya. Detik kemudian pandanganku teralihkan pada
hamparan jingga di langit barat Jakarta. Ah, Senja ini langit ibukota tampak
begitu indah. Senja yang menjingga. Amat jingga. Lelahku setelah seharian
beraktivitas terasa meluap begitu saja kala menyaksikan ciptaan Allah Yang Maha
Indah.
Seakan tak ingin
menyiakannya begitu saja, aku langsung menangkap potretnya melalui kamera
ponsel yang tidak seberaba tinggi pixelnya itu. Meski begitu, ia tetap mampu untuk
mengabadikan sebuah keindahan nyata yang tak selalu dapat terlihat. Di sini, di
ketinggian sekitar 5-7 meter aku menghentikan langkah untuk sejenak menikmati
indah yang begitu memanjakan mata.
Keindahan
senja ini membuatku kembali mengingatmu. Ingatkah, kita mengakhiri dan
memulainya di batas senja lima tahun yang lalu. Saat itu kamu baru saja pulang
dari Bandung dan memintaku untuk menemuimu di tempat biasa kita bertemu. Sebuah
danau di pinggiran timur Jakarta. Andai kamu tahu betapa bahagianya aku ketika
sebuah pesan sampai di ponselku.
“Sya,
aku lagi di Jakarta. Bisa ketemu sore ini di danau?”
Aku bahkan masih mengingat setiap kata
darimu yang kubaca dengan bunga-bunga yang bermekaran di taman hatiku.
Bagaimana tidak, ini adalah pertemuan pertama kita sejak kamu kuliah di
Bandung. Pesan itu sampai di ponselku sekitar jam dua siang dan saat itu juga
aku langsung kelabakan mencari baju yang kiranya cocok aku kenakan untuk
bertemu denganmu. Mengingat hal itu, membuat aku malu sendiri. Ternyata aku
benar-benar remaja yang jatuh cinta.
Celana jeans panjang, dengan kaos merah
muda berbalut cardigan ungu menjadi pilihanku. Rambut sebahuku aku biarkan
terurai dengan sebuah bando hitam kecil yang melingkari bagian depan rambutku. Dengan
senyuman yang tak habis-habisnya aku sunggingkan, aku mengayuh sepeda menuju
danau. Di sana, aku melihatmu. Tengah terduduk di atas rerumputan dan memandang
bias cahaya yang tampak di permukaan air danau. Aku masih mengingat jelas bahwa
itu adalah kegiatan favoritmu.
Masih dengan senyuman yang sama, aku
menghampirimu. Aku bahkan belum sempat
memanggil namamu ketika kamu sudah menoleh lebih dulu. Membuat hatiku
tiba-tiba berdesir kala senyuman hangatmu tertangkap indera penglihatanku.
Kamu langsung berdiri menyambutku. “Nisya” suaramu terdengar
memanggil namaku, dan masih dengan senyuman ramah khas milikmu. Senyuman yang selalu
aku rindukan selama satu tahun terakhir. Setahun tak bertemu ternyata kamu
masih sama. Hanya saja aku merasa bahwa tinggi badanmu sedikit bertambah.
Entah hanya perasaanku saja atau memang benar adanya.
“Hai, Kak! Udah dari tadi ya?” tanyaku yang langsung
menghampirimu. Berdiri tepat dua langkah di hadapanmu. Menatapmu dengan
senyuman yang sejak tadi tak mau pergi dari wajahku.
“Enggak kok. Baru nyampe sekitar lima menit
yang lalu”
jawabmu lalu mengajakku duduk di atas rerumputan hijau di tepi danau. Aku pun
tanpa diminta dua kali langsung duduk di sampingmu. Andai kamu tahu, saat itu
adalah saat dimana aku ingin berteriak dan memelukmu untuk meluapkan segala
kerinduan yang tertahan selama satu tahun tak bertemu. Namun, kamu jelas tahu
aku. Aku bukanlah perempuan agresif yang akan melakukan hal itu padamu. Aku
terlalu malu untuk itu. Terlebih aku pun tahu bahwa kamu bukanlah lelaki yang
selalu menunjukkan perasaanmu.
“Kamu apa kabar, Sya? Setahun nggak ketemu
kayaknya kamu tambah dewasa ya”
“Dewasa?” Aku terkekeh kecil. Entah bagian mana dari
diriku yang menunjukkan aku tampak lebih dewasa seperti perkataanmu. “Aku baik. Kakak gimana?
Setahun di Bandung kayaknya betah banget ya sampe nggak pulang-pulang”. Balasku padamu—yang sebenarnya tersirat
ungkapan yang mengharapkan kepulanganmu sejak lama.
Tanpa menoleh ke arahku, kamu tersenyum.
“Iya,
Bandung ternyata nyaman banget Sya. Nggak nyesel deh aku kuliah di sana”
Aku yang melihatmu begitu antusias saat
berkata hanya bisa menganggukkan kepala dan tersenyum simpul. Sebenarnya banyak
kata yang ingin aku ungkapkan padamu setelah satu tahun tak bertemu, namun
entah mengapa rasanya aku tak mampu mengungkapkannya. Dengan memandangmu saja
sudah cukup bagiku.
“Sya, gimana ujian nasional kamu?”
Aku menghela napas panjang sebelum
menjawab pertanyaanmu. “Alhamdulillah.
Semua udah kelar. Semoga aja hasilnya nggak mengecewakan ya Kak”
“Semoga ya, Sya. Aku tahu banget
gimana giatnya kamu kalo belajar. Insya Allah sesuai harapan lah hasilnya” Kamu kini menoleh padaku
sekilas. “Oiya,
udah tentuin mau kuliah dimana?”
wajahmu tampak begitu serius meski dengan senyuman hangatmu.
Aku mengangguk, lalu meluruskan kedua kakiku.
“Aku
pilih UNJ sama UNNES buat jalur undangan. Jurusannya
Pendidikan Matematika. Pengumumannya minggu depan Kak. Doain ya”
“Wih matematika. Nggak coba di UPI?”
“Pengen sih, tapi nggak boleh sama Ibu. Katanya aku cuma boleh
kuliah di Jakarta atau di Semarang jadi bisa tinggal sama eyang. Padahal
awalnya aku mau pilih UPI”
Kamu
menganggukkan kepala sambil memandangi bias cahaya senja. "Kuliah mah di
mana aja Sya. Yang penting ilmunya. Menuruti keinginan Ibu insya Allah berkah.
Aku selalu berharap yang terbaik untuk kamu Fanisya".
Perkataanmu terdengar begitu berwibawa Kak,
tampaknya perubahan statusmu dari siswa menjadi mahasiswa benar-benar telah
merubah pola pikir dan sikapmu. Dan aku merasa semakin menyukaimu karena itu.
Aku menatapmu dalam diam. Hanya anggukan kepala dua kali yang menjadi jawabanku
atas perkataan bijakmu.
"Hmm.
... Sya?" ucapmu yang tiba-tiba menoleh padaku. Membuat dua pasang mata
kita saling beradu untuk beberap jenak. Aku bahkan sempat merasakan sentakan
hebat dari balik dadaku kala bola mata cokelatmu mengunci pandanganku.
"I-iya
Kak?" Sahutku ragu-ragu.
Kemudian
kamu tersenyum kecil yang aku yakini karena kamu menangkap kegugupan dari
jawabanku. Tatapan mata kita kini terlepas. Aku memilih menunduk karena begitu
malu menunjukkan kegugupanku di hadapanmu, sementara kamu lebih memilih menikmati
hamparan air danau yang beriak karena terpaan angin. Kita sama-sama terdiam
untuk beberapa saat. Sampai akhir aku mendengarmu berucap.
"Sya,
setelah lulus kuliah nanti kamu mau jadi guru ya berarti?" Katamu yang
masih memandang lurus-lurus ke arah danau. Aku pun mengangkat kepalaku dan
mengikuti arah pandangmu. kita duduk bersebelahan dengan arah pandang yang sama.
"Insya
Allah Kak. Aku mau jadi guru matematika" jawabku yang masih menikmati
pemandangan senja bersamamu.
"Amin"
Kamu mengamini impianku yang seketika membuat hatiku menghangat. "Setelah
itu?" tanyamu kemudian.
Membuat
aku mengernyitkan dahi karena tak mengerti maksud pertanyaanmu. Bersamaan dengan
itu kepalaku sudah berhasil menoleh ke kiri—ke
arahmu.
"Setelah
itu?" Aku membeo atas perkataanmu yang sungguh tak dapat aku pahami. Dan
Lagi-lagi aku melihatmu tersenyum kecil karena reaksiku. Apa kamu begitu
terhibur melihat wajahku yang menampakkan ekspresi aneh begitu?
"Iya,
setelah kamu jadi guru kamu mau ngapain lagi?"
"Entah,
belum kepikiran"
"Menikah?"
"Hah?
Nikah?"
"Kenapa,
kok kaget begitu?"
"Aku
belum mikir sampe kesitu kak, sekarang aja aku belum tau lulus apa enggak,
kuliah dimana juga belum ketahuan. Apa lagi tentang menikah. Benar-benar belum
kepikiran. Aku masih 17 tahun Kak"
"Tapi
aku udah kepikiran Sya" katamu dengan begitu santainya. Jujur, aku tak
mengerti kemana arah pembicaraan kita sebenarnya.
"Aku
seorang laki-laki yang kelak akan bertanggung jawab atas seorang perempuan. Dan
aku berharap perempuan itu adalah kamu Fanisya Anindita"
Seketika
dunia terasa berhenti. Hempasaan angin dan kicauan burung yang sejak tadi
menjadi nyanyian senja pun mendadak sunyi. Yang terdengar hanyalah debaran
jantungku yang tiba-tiba menggila. Apa aku sedang bermimpi?
"Sya"
suaramu yang memanggil penggalan namaku membuat aku tersadar dari
kebergeminganku.
"Fitrah
seorang laki-laki adalah menjaga perempuannya. Aku ingin menjadi orang yang
menjagamu Nisya. Tapi nanti, ketika kita telah mengikat diri pada sebuah janji
yang menjadikan kita halal" Kamu berhenti berkata lalu menoleh lagi
padaku.
Perkataanmu sunggu membuat aku membeku. Pasalnya aku tak tahu harus merespon perkataanmu dengan kata apa. Kamu yang masih memandang keterpakuanku tiba-tiba menyimpulkan senyuman hangat khas dirimu.
Perkataanmu sunggu membuat aku membeku. Pasalnya aku tak tahu harus merespon perkataanmu dengan kata apa. Kamu yang masih memandang keterpakuanku tiba-tiba menyimpulkan senyuman hangat khas dirimu.
"Kak,
inti pembicaraan kita sebenarnya apa ya? Aku nggak ngerti"
Aku
memang begitu tersanjung atas perkataanmu kak. Perempuan mana pun pasti akan
luluh hatinya karena perkataan indahmu itu. Namun aku tetaplah seorang remaja yang baru berusia 17 tahun. Aku tidak tahu pasti maksud perkataanmu.
Aku
sempat mendengar kamu menarik napas panjang dan menghelanya perlahan sebelum
akhirnya kamu bersuara untuk menjawab rasa penasaranku. "Sya, maafin aku. Aku
rasa kita harus mengakhiri hubungan kita"
Kebingunganku akan perkataanmu tiba-tiba menghasilkan sentilan kecil pada hatiku.
Kebingunganku akan perkataanmu tiba-tiba menghasilkan sentilan kecil pada hatiku.
"Maksud
kakak? Putus?". Sahutku bertanya dengan suara yang sedikit meninggi.
Bagaimana bisa kamu mengatakan hal itu setelah sebelumnya kamu melambungkanku
tinggi-tinggi.
Kamu
menganggukkan kepala tanpa menatapku. "Aku rasa itu yang terbaik buat kita
Sya. aku nggak mau membawa kamu ke dalam dosa karena ikatan yang nggak
seharusnya ini"
"Dosa
gimana sih kak? Selama ini kita kan nggak pernah bersentuhan, jangankan pelukan,
pegang tangan aku aja kakak nggak pernah kan?"
"Sya,
dosa atau enggaknya emang Allah yang menentukan. Tapi kita punya kewajiban
untuk mencegahnya. Dalam Al-Quran aja dikatakan jangan dekati zina. Mendekati
aja udah nggak boleh Sya. Artinya kita harus mencegahnya dengan memutuskan
hubungan kita"
"Kakak
tuh sebenarnya kuliah jurusan elektro apa jurusan agama sih? Kok jadi ceramahin aku begini?" Aku sudah benar-benar tersulut emosi. Pasalnya kamu
berubah drastis. Kamu yang dulu terasa begitu hangat dengan setiap candaanmu
kini menjadi seorang yang begitu banyak bicara tentang agama. Apa orang-orang
yang memasuki dunia kuliah akan berubah seperti ini? pikirku kala itu.
Aku
melihat wajahmu semakin serius. "Sya, tolong" pintamu dengan nada
bicara yang penuh penekanan. "Aku begini untuk kita ke depannya. Aku ingin
memperbaiki diriku agar pantas menjadi laki-laki yang akan bertanggung jawab
atas dirimu Sya. Aku mau kita sama-sama memperbaiki diri"
Terpaan
angin senja kembali terasa dan membuat kesenduanku semakin menjadi. Aku tak
lagi sanggup menahannya. Buliran bening itu akhirnya mengalir membentuk sebuah
garis yang melewati pipi gembilku. Aku menangis karena perkataanmu yang terdengar
begitu menyakitkan namun juga begitu menyentuh hatiku. Perasaan sakit karena
diputuskan oleh lelaki baik sepertimu rasanya kalah dibandingkan perasaan
haruku karena mendengar perkataan tulusnya yang terdengar begitu syahdu.
"Sya
maafin aku"
Malihat
aku yang mulai tersedu kamu hanya bisa memandangku dengan ekspresi yang juga sendu,
tanpa berani mengambil tindakan untuk mendiamkanku dengan sentuhanmu. Aku tahu
benar kamu selalu begitu.
"Jika
menangis bisa bikin kamu lebih tenang, nangis aja Sya. Aku disini untuk
bertanggung jawab atas tangisanmu"
Mendengar
dua kalimat yang kamu lontarkan itu membuat aku semakin terisak dalam tangis. Teriakan burung-burung kecil di sekeliling danau seakan ikut terhanyut dengan
perasaanku.
"Sya,
aku mau kita memulai semuanya dari awal dengan sama-sama memperbaiki dan memantaskan
diri untuk mendapatkan cinta yang sejati. Cinta pada Sang Maha Pemilik Hati, Sya." Katamu saat aku masih menangis tersedu. "Jodoh adalah takdir yang udah ditentukan, Sya. Kita hanya perlu berikhtiar untuk
mendapatkan hak kita. Kata Al-Quran perempuan yang baik hanya untuk lelaki yang
baik. Begitu juga sebaliknya. Itu adalah alasan kenapa aku mau kuta sama-sama memperbaiki
diri. Aku berharap kamu bisa ngerti harapan aku, Sya" tuturmu lagi.
Dalam
tangisku aku masih bisa mendengar setiap kata yang kamu ucapkan dengan sangat
jelas. Masuk melalui indera pendengaranku hingga terasa menggetarkan relung
hatiku. Untuk beberapa menit kita sama-sama terdiam. Aku yang diam karena
merasakan dan memikirkan perkataanmu dan kamu yang terdiam tanpa aku ketahui
alasan atas keterdiamanmu.
Perlahan
hatiku menyetujui setiap perkataanmu lalu aku mencoba meyakinkan pikiranku bahwa apa yang kamu ucapkan adalah benar.
Mungkin memang ini yang terbaik untuk kita. Melepaskan untuk saling
mendekatkan. Dekat pada Sang Pemilik Hati dan memasrahkan semua pada ketentuannya.
“Allahuakbar Allahuakbar …”
Gema adzan maghrib membuat aku
mengakhiri ingatanku atas kenangan kita di batas senja lima tahun yang lalu. Aku
bahkan tak sadar bahwa aku telah meneteskan sebuah bulir bening kala mengingat
saat-saat itu. Langit yang tadi masih cerah kini telah menggelap. Namun
jingga masih tampak di ufuk barat kota. Jingga yang begitu indah. Barisan lampu
kendaraan bersama dengan deru mesinnya menjadi pemandangan dan alunan merdu
kala peralihan senja menjadi malam. Aku menaruh kembali ponsel yang tadi
kupakai untuk memotret keindahan senja ibukota ke dalam ransel. Kemudian bergegas
menuruni jembatan penyebrangan dari halte busway Cikoko menuju Stasiun Cawang
untuk melaksanakan sholat Maghrib dan selanjutnya melanjutkan perjalanan dengan
kereta ke arah Depok.
Kenangan, andai dulu kamu tak berani
memutuskanku. Mungkin aku takkan menjadi Fanisya Anindita seperti saat ini.
Terimakasih atas keberanianmu Kak Satya Eka Mardiansyah.
No comments:
Post a Comment